Rabu, 26 November 2014

Tentang Nenek Muane dan Dua Nenek Baine


Menjadi anak-anak adalah masa paling menyenangkan. Mendapat curahan cinta yang tak terhingga dari semua orang. Termasuk kakek dan nenek, yang sering memanjakan cucunya ketimbang anaknya di usia yang sama saat berumur kanak-kanak. Setelah lahir, saya hanya mengenal kakek-nenek dari pihak mama dan nenek dari pihak papa.

Saat masih kecil, sebutan kakek dan nenek tidak ada di kampung kami (ketahuan kan hidup pada zaman apa?). Berbeda dengan sekarang, kakek dan nenek telah menjadi lumrah terdengar. Nenek muane (nenek laki-laki) untuk menyebut kakek, dan nenek baine (untuk menyebut nenek perempuan). Sampai berumur 12, tahun nenek muane dan nenek baine menemani tumbuh kembangku. Karena nenek muane telah meninggalkan kami, menghadap pada Sang Pencipta, setelah berumur 12 tahun itu. Sementara nenek baine dari papa kami kurang memiliki kedekatan karena nenek baine dari papa sangat jarang tinggal bersama kami. Terkadang dia berbulan-bulan di Makassar, kemudian pulang kampung tapi tidak di rumah kami melainkan di rumah anaknya yang lain di kampung sebelah.

Almarhun Nenek Muane dan Nenek Baine
dari Mama
Di bawah asuhan nenek muane dan nenek baine setiap mama meninggalkan kami mengajar, atau saat malam hari ketika berkunjung ke kampung nenek ketika mama telah dipindah tugaskan ke kampung papa, banyak sekali dogeng-dogeng syarat makna yang dijejalkan kepada kami. Terkadang kami duduk dengan manis, atau berbaring disampingnya atau bahkan bermanja-manja dipangkuannya, nenek muane akan mulai mendongeng. Nenek muane memiliki banyak cerita dibanding nenek baine. Nenek baine pun terkadang menjadi pendengar saat nenek muane mulai bercerita pada kami.

Ada banyak kisah yang diceritakan nenek muane. Ada Lajana’, si malas yang banyak akal dan rakus. Ada Cado’dong, seorang yang berbudi baik yang akhirnya menjadi bintang di langit bersama ayam jantannya. Ada juga si nenek pakame-kame, nenek yang merawat anak kecil sampai gemuk kemudian memakan hatinya. Dari semua cerita itu yang paling berkesan adalah Cado’dong yang menjadi bintang di langit. Setelah berkisah tentang Cado’dong nenek muane berjanji akan menemani kami menyaksikan bintang Cado’dong sebelum salat subuh. Maka keesokan harinya kami akan berlomba bangun dan menyaksikan bintang seuai arah telunjuk nenek muane. Mungkin itu salah satu trik agar kami cepat bangun shalat subuh. Tapi sayangnya sampai hari ini bintang yang benderang di sebelah timur itu belum mampu saya bedakan dengan bintang-bintang lainnya.

Selain keahlian bercerita, nenek muane sangat pandai membuat ketupat. Dia mampu membuatnya dalam berbagai model, bayangkan saja model ketupat yang bisa dibuatnya sampai puluhan bentuk. Sapi, kuda, burung dan lain sebagainya. Tapi sungguh disayangkan sampai meninggalnya, ilmu itu tidak diwarisi oleh satupun keturunannya.

Itu tentang nenek muane, lain lagi dengan nenek baine. Nenek baine adalah perempuan luar biasa. Dia tidak bisa membaca, tapi pandai berdagang semasa masih kuat dulu. Dia tidak berpendidikan, sekolahnya hanya sampai kelas 2 yang waktu itu masih Sekolah Rakyat, tapi anak-anaknya tidak ada satupun yang tidak sarjana. Nenek baine adalah perempuan dengan jiwa muda yang menggebu. Adik mama sering berkata seandainya Indo' (Panggilan ibu di daerah Duri, Enrekang) punya pendidikan mungkin sekarang dia telah menjadi pengusaha besar. Di usia yang telah senja dia baru belajar mengeja satu demi satu huruf hijaiyah dengan metode Iqra’. Alhamdulillah sekarang sudah bisa membaca Al-Quran sekalipun masih terbata. Namun dia masih punya impian membacanya dengan tartil. Sungguh, nenek baine adalah perempuan luar biasa. Selalu beruntai-untai doa dia panjatkan memayungi anak dan cucunya untuk kebaikan dunia dan akhirat. Saat anak atau cucunya meminta didoakan, maka disetiap salat wajib dan sunnahnya dia akan berdoa dan keesokan harinya dia akan berpuasa.

Di sisi lain Nenek baine punya sesuatu yang menarik. Nenek baine memiliki kepercayaan tertentu. Bukan tentang syirik lho yah. Dan terkadang masih saya praktekkan sampai hari ini hehehe…
Pertama, kalau kentut itu ucapkan ‘samalla’, supaya kentut yang bau cuma tercium sendiri. Kalau mau semua orang menciumnya ucapkan ‘pantalla’.
Kedua, kalau kekenyangan sampai pengen muntah usapkan air diperut.
Ketiga, kalau melihat anjing atau kucing sedang buang hajat, kaitkan antara jari telunjuk kiri dan kanan kemudian tarik kearah yang berlawanan. Tarik sekuat-kuatnya tapi jangan sampai tautan jari telunjuk terlepas.
Yang ketiga ini saya praktekkan lagi kemarin. Soalnya saya jengkel melihat anjing yang sedang pup  di gundukan bekas bahan bangunan di samping jalan kompleks. Tidak berperikebinatangan kan?
Nenek Baine dari Papa
Berbeda lagi dengan nenek baine dari pihak papa. Nenek ini sangat ramah, kawannya banyak. Selain ramah, nenek baine ini sangat murah hati. Apapun barang-barangnya jika dipuji oleh orang lain, maka dia akan menawarkan pada orang itu. Mungkin prinsipnya apapun yang terbaik yang dimiliki itulah yang pantas disedekahkan. Setiap ada di rumah, rumah kami banyak kedatangan tamu. Pastinya mencari nenek dan mama akan kewalahan membuat sekedar minuman hangat.

Nenek baine adalah keturunan bangsawan di tanah Duri yang bergelar Puang. Saat masih gadis dia dijodohkan dengan sesama Puang. Namun nenek baine memilih pinangan seorang ustadz dari kalangan orang biasa. Sejak itu gelar Puang dan Andi tidak pernah lagi dipakai dikeluarga kami. Menurut cerita mama, nenek muane ini adalah salah satu yang pertama menyebarkan Muhammadiyah di bumi Massenrempulu. Sekalipun harus menjadi istri kedua dan berbagi cinta dan materi dengan istri pertama, nenek baine rela. Karena alasan pengetahuan agama dari nenek muane.

Nenek baine penggemar pisang. Buakan sembarang pisang. Pisang kepok adalah buah yang harus selalu ada. Setiap hari pasar, Senin dan Kamis, semasa saya masih anak-anak, beliau selalu menyuruh untuk membelikannya. Terkadang dengan suka rela saya menunaikan suruhan nenek. Namun kadang pula meminta imbalan. Dan yang lebih menjengkelkan saat sedang asyik bermain tiba-tiba nenek baine minta dibelikan pisang. Jika sudah begini saya hanya mengambil uangnya dan melanjutkan permainan. Setelah agak lama saya kembali ke rumah dan menyerahkan uang nenek dan berkata sudah habis. Sikap inilah yang membuat saya benar-benar menyesal setelah beliau meninggal dunia saat duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah dulu. Nenek baine meninggal di Makassar setelah berbulan-bulan tidak pernah lagi mengunjungi kami karena sakit.

Betapa baik dan hebatnya mereka. Semoga kebaikan mereka, nenek muane dan dua nenek baine pun melekat pada kami, keturunanya dan menjadi amal jariyah pada mereka. Aamiin. (Muj)












2 komentar:

  1. Wah, Nenek Anggo. hikz... jamassetopenawa bacai. Kungaran unapa jo curita2. Ja kukabudai sampe mi'cik subuh dikua nadikita jo' bintangna cado'dong (Y)

    BalasHapus
  2. Terharu baca kisahnya banyak sekali pelajarannya.
    Ngomong2 saya tertarik dengan kisah Cado’dong. Masih ingat gak bintang yang ditunjuk sama Nenek muane? Kalau bisa bantu ciri2nya, nanti saya bantu tebak bintangnya

    BalasHapus