Suatu hari di
Bank BRI, seorang wanita bertanya padaku.
“Mbak, nomor
antriannya berapa?”
“Ambil saja
nomor antrianku, mbak, aku bisa nebeng dengan tetanggaku,” ujarnya sambil
menyodorkan secarik kertas antrian yang agak kumal bernomor 88.
Dengan senang
hati kuraih kertas itu sambil tersenyum manis dan berkata, “terima kasih, yah.”
Setelah itu dia
berdiri hendak keluar dari Bank, pulang mungkin, dan sekali lagi kuucapkan
terima kasih.
Tidak berapa
lama, seorang ibu muda duduk di bangku tunggu, pas disampingku. Dia tersenyum
dan kulakukan hal yang sama. Aku berinisiatif membuka percakapan.
“Bu, nomor
antrian berapa?” tanyaku.
Dia tersenyum.
“Nomor 110,”
ujarnya.
“Ini nomor
antrian 97, buat ibu saja.” Aku menyodorkan kertas antrian yang sangat rapi
tersimpan di sela-sela buku Totto-Chan yang sengaja kubawa sebagai penghilang
suntuk. Ibu muda itu mengambilnya dan tersenyum manis sambil berterima kasih
padaku. Selang beberapa saat Ibu muda itu menuntun seorang nenek tua ke bangku
tunggu di depanku. Oh, pensiunan yang mau mengambil gaji, pikirku. hari itu,
dua Bank BRI yang kudatangi semuanya dipadati para lansia yang ingin mengambil
gaji pensiunannya. Dan aku sedikit bersyukur telah memberikan nomor antrianku
pada orang yang tepat sehingga nenek tua itu bisa memangkas waktu tunggunya
kurang lebih satu jam.
Satu hal lagi
yang terpikirkan bahwa kebaikan itu seperti MLM (Multilevel Marketing). Memutuskan masuk kedalam bisnis itu berarti
harus menggaet orang lebih banyak lagi sebagai follower atau pengikut. Sama dengan berbuat kebaikan sekecil
apapun. Ketika ada kesempatan berbuat baik terhadap seseorang maka lakukanlah,
karena seseorang yang telah menerima kebaikan akan berusaha melakukan hal yang
samaa sekalipun masih sebatas niat.
Suatu hari di
Bank BRI, seorang nasabah membawa anak kecilnya, usianya sekitar tiga tahun.
Anak itu tengah asyik memainkan aplikasi permainan membuat kue di HP android
mamanya.
“Caca, pedisnya
perut mama,” kata Mama ke anak kecil di sampingnya.
“Yang pedis itu
Lombok, Ma,” si anak nyeletuk menjawab mamanya dan mengundang tawa beberapa
nenek-nenek yang duduk didekatnya.
Antrian masih
berada di nomor 40 sementara nomor antrian sang Mama nomor 88. Sudah beberapa
jam sepasang anak dan ibu itu menunggu. Si anak masih asyik dengan HP mamanya
saat mamanya berkata, “Caca, Mama capek.”
“Ihhh, Mama
sabar dong, kita kan sudah menunggu cukup lama, tunggu saja lagi,” jawab si
anak tanpa melepaskan pandangan dari permainan salon-salonnya kali ini.
Sejam kemudian,
HP sang Mama kehabisan daya. HP beralih dari tangan Caca ke tas milik Mama. Duduk
manis di samping Mama tak berlangsung lama, dia pun mulai merengek karena tidak
sabar menunggu nomor antrian Mama. Ah dasar anak-anak, baru saja dia menasehati
Mamanya sekarang giliran dia merajuk ingin segera pergi.
Suatu hari di
Bank BRI, seoarang bapak tua melenggang tenang ke pintu keluar meninggalkan
meja teller. Tiba-tiba saja teller yang seorang laki-laki gagah setengah
berteriak memanggil bapak tadi.
“Pak… pak…” kata
si Teller.
Mendengar
teriakan itu si bapak berbalik.
“Yah?”
“Uangnya, Pak.”
Sontak ruangan
dipenuhi riuh tawa nasabah yang menunggu giliran. Bapak itu pun berbalik menuju
Teller tanpa ada gurat malu di wajahnya. Hal berbeda mungkin jika aku diposisi
itu. Mungkin mukaku tak ubahnya kepiting rebus yang memerah karena terkena air
panas. Tiba-tiba saja aku merasa bersalah telah menertawai bapak itu.
Hari itu, aku
menjejakkan kaki di pelataran ruko tempat Bank BRI dibawah sinar matahari pagi
yang hangat. Hanya dengan berpakaian santai, bersandal jepit tanpa mandi pagi
aku berbaur dengan nasabah lain yang berpakaian rapi, harum dan dipenuhi
polesan make up bagi perempuannya.
Rasanya seperti apa? Biasa saja, tapi tetap saja ada sedikit rasa malu. Diam di
tempat itu menunggu giliran dan memendam perasaan malu yang sesekali mencuat
memakan waktu yang tidak sebentar. Karena aku meninggalkan Bank BRI saat
matahari telah menggarang dan adzan zuhur telah berkumandang sejam yang lalu. (Muj)
Makassar, 3 November 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar