Senin, 03 November 2014

Suatu Hari di Bank BRI



Suatu hari di Bank BRI, seorang wanita bertanya padaku.
“Mbak, nomor antriannya berapa?”
“97,” jawabku singkat sambil tersenyum
.
“Ambil saja nomor antrianku, mbak, aku bisa nebeng dengan tetanggaku,” ujarnya sambil menyodorkan secarik kertas antrian yang agak kumal bernomor 88.
Dengan senang hati kuraih kertas itu sambil tersenyum manis dan berkata, “terima kasih, yah.”
Setelah itu dia berdiri hendak keluar dari Bank, pulang mungkin, dan sekali lagi kuucapkan terima kasih.
Tidak berapa lama, seorang ibu muda duduk di bangku tunggu, pas disampingku. Dia tersenyum dan kulakukan hal yang sama. Aku berinisiatif membuka percakapan.
“Bu, nomor antrian berapa?” tanyaku.
Dia tersenyum.
“Nomor 110,” ujarnya.
“Ini nomor antrian 97, buat ibu saja.” Aku menyodorkan kertas antrian yang sangat rapi tersimpan di sela-sela buku Totto-Chan yang sengaja kubawa sebagai penghilang suntuk. Ibu muda itu mengambilnya dan tersenyum manis sambil berterima kasih padaku. Selang beberapa saat Ibu muda itu menuntun seorang nenek tua ke bangku tunggu di depanku. Oh, pensiunan yang mau mengambil gaji, pikirku. hari itu, dua Bank BRI yang kudatangi semuanya dipadati para lansia yang ingin mengambil gaji pensiunannya. Dan aku sedikit bersyukur telah memberikan nomor antrianku pada orang yang tepat sehingga nenek tua itu bisa memangkas waktu tunggunya kurang lebih satu jam.
Satu hal lagi yang terpikirkan bahwa kebaikan itu seperti MLM (Multilevel Marketing). Memutuskan masuk kedalam bisnis itu berarti harus menggaet orang lebih banyak lagi sebagai follower atau pengikut. Sama dengan berbuat kebaikan sekecil apapun. Ketika ada kesempatan berbuat baik terhadap seseorang maka lakukanlah, karena seseorang yang telah menerima kebaikan akan berusaha melakukan hal yang samaa sekalipun masih sebatas niat.

Suatu hari di Bank BRI, seorang nasabah membawa anak kecilnya, usianya sekitar tiga tahun. Anak itu tengah asyik memainkan aplikasi permainan membuat kue di HP android mamanya.
“Caca, pedisnya perut mama,” kata Mama ke anak kecil di sampingnya.
“Yang pedis itu Lombok, Ma,” si anak nyeletuk menjawab mamanya dan mengundang tawa beberapa nenek-nenek yang duduk didekatnya.
Antrian masih berada di nomor 40 sementara nomor antrian sang Mama nomor 88. Sudah beberapa jam sepasang anak dan ibu itu menunggu. Si anak masih asyik dengan HP mamanya saat mamanya berkata, “Caca, Mama capek.”
“Ihhh, Mama sabar dong, kita kan sudah menunggu cukup lama, tunggu saja lagi,” jawab si anak tanpa melepaskan pandangan dari permainan salon-salonnya kali ini.
Sejam kemudian, HP sang Mama kehabisan daya. HP beralih dari tangan Caca ke tas milik Mama. Duduk manis di samping Mama tak berlangsung lama, dia pun mulai merengek karena tidak sabar menunggu nomor antrian Mama. Ah dasar anak-anak, baru saja dia menasehati Mamanya sekarang giliran dia merajuk ingin segera pergi.

Suatu hari di Bank BRI, seoarang bapak tua melenggang tenang ke pintu keluar meninggalkan meja teller. Tiba-tiba saja teller yang seorang laki-laki gagah setengah berteriak memanggil bapak tadi.
“Pak… pak…” kata si Teller.
Mendengar teriakan itu si bapak berbalik.
“Yah?”
“Uangnya, Pak.”
Sontak ruangan dipenuhi riuh tawa nasabah yang menunggu giliran. Bapak itu pun berbalik menuju Teller tanpa ada gurat malu di wajahnya. Hal berbeda mungkin jika aku diposisi itu. Mungkin mukaku tak ubahnya kepiting rebus yang memerah karena terkena air panas. Tiba-tiba saja aku merasa bersalah telah menertawai bapak itu.



Hari itu, aku menjejakkan kaki di pelataran ruko tempat Bank BRI dibawah sinar matahari pagi yang hangat. Hanya dengan berpakaian santai, bersandal jepit tanpa mandi pagi aku berbaur dengan nasabah lain yang berpakaian rapi, harum dan dipenuhi polesan make up bagi perempuannya. Rasanya seperti apa? Biasa saja, tapi tetap saja ada sedikit rasa malu. Diam di tempat itu menunggu giliran dan memendam perasaan malu yang sesekali mencuat memakan waktu yang tidak sebentar. Karena aku meninggalkan Bank BRI saat matahari telah menggarang dan adzan zuhur telah berkumandang sejam yang lalu. (Muj)

Makassar, 3 November 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar