Allah tidak akan
merubah nasib suatu kaum, bila bukan dia yang berusaha merubah itu. Itu yang
sangat diyakini mama. Dengan persetujuan papa, mama mendaftarkan diri di
Sekolah Pendidikan Guru.
“Jika lulus, yang harus
papa yakini adalah ini rezeki papa dari Allah yang datang melalui tangan mama,”
ujar mama saat meminta izin papa.
Sementara papa yang
saat itu menunggu surat keputusan pengangkatan sebagai pegawai negeri sipil
(PNS) di Madrasah Tsanawiyah agak keberatan dengan pilihan mama.
“Bagaimana dengan
anak-anak kita kelak? Siapa yang akan mengasuhnya saat kita berdua sibuk mengurusi
anak-anak orang?” tanya papa.
“Pa, ini adalah
kesempatan yang tidak tahu kapan lagi datangnya,” kata mama.
“Kalau pun semisalnya,
kita berdua lulus, maka yang mendapat SK (Surat Keputusan) pengangkatan PNS
pertama kali yang menjadi guru,” lanjut mama.
Papa adalah lelaki yang
sangat demokratis. Tidak ada sedikitpun dalam benaknya sebuah arogansi sebagai
seorang lelaki yang senantiasa pemikirannya yang harus didengarkan. Dia bukan
seorang yang otoriter. Selama apa yang dikatakan mama baik, maka orang pertama
yang mendukungnya adalah papa.
Karena SK pertama turun
adalah SK PNS mama, maka mama kemudian menjadi guru. Sementara papa dengan
sukarela mengundurkan diri dari sekolah demi kami anak-anaknya dan memilih
menjadi petani. Pagi saat mama harus mengajar, papa tinggal merawat kami.
Setelah mama pulang ke rumah, papa kembali ke rutinitasnya di kebun. Kalaupun
papa harus meninggalkan kami saat tanamannya memasuki musim panen, maka adik mama
yang akan menjaga kami.
***
Papa adalah lelaki yang
sangat pendiam. Kata-kata yang dikeluarkannya hanya seperlunya saja. Namun dibalik
diamnya papa adalah lelaki romantis.
“Papa habis kasih surprise
ke mama,” cerita mama suatu hari lewat telepon.
“Surprise apa?”
tanyaku.
“Blender mama rusak,
jadinya selalu minjam ke tetangga. Nah, tadi pagi papa bilang bikin malu-malu
pinjam terus. Pas mama pulang sekolah, blender yang masih di dalam box sudah ada di atas meja. Padahal tadi
pagi papa pamit ke Pasar mau beli pupuk.”
“Tahu tidak dari mana
uangnya?” tanya Mama.
Tanpa menunggu
jawabanku, mama melanjutkan, “Gaji imamnya yang ditabung beberapa bulan.” Yah,
selain menjadi petani papa diamanahi menjadi imam Masjid kecamatan karena
hafalannya banyak dan pelafalannya yang tartil.
Bukan hanya itu, papa
pernah menjadi penghulu. Dinikahkan papa adalah mimpi terindah dari seorang
anak gadis. Namun apa daya papa telah pergi sebelum menunaikan kewajibannya
sebagai wali nikah untukku.
Papa benar-benar lelaki
romantis. Dia bukanlah pekerja kantoran yang digaji perbulan. Hanya
mengandalkan hasil kebun merica sekali setahun, gaji sebagai penghulu dan imam
masjid yang tidak seberapa. Tidak hanya surprise blender, dengan penghasilan
seadanya papa menabung untuk membelikan mama sebuah kulkas.
Karena keromantisannya,
papa sangat disayang mertua. Berapapun penghasilannya, papa akan menyisihkan
untuk nenek. Papa akan menyengaja menyambangi nenek demi menyerahkan langsung
sedikit uangnya atau makanan yang dibelinya sendiri. Setelah pemakaman papa nenek
barulah bercerita tentang semua ini.
***
Sekalipun mama adalah
pegawai negeri sipil dengan gaji menentu tiap bulan, tapi mama tidak bisa bebas
membelanjakan uangnya untuk mempercantik rumah kami dengan segala fasilitas
elektronik. Atau mengoleksi segala macam perhiasan untuk dirinya. Barang
termewah di rumah kami saat itu hanya televisi 14 inci hitam putih.
“Hanya keberkahan
sehingga gaji mama dan hasil kebun papa bisa mencukupi kebutuhan kita semua,”
ucap mama penuh syukur. Saat itu, aku, kakak, dan mama sedang menempuh kuliah
strata 1.
Penghasilan mereka jauh
dari cukup untuk membuat hidup kami merasa bebas secara finansial. Tapi mama
tidak pernah menuntut papa dengan kekurangan itu semua. Mama mensyukuri semua
senang dan susah yang dialaminya.
Bersambung…
Barakallah .. terharuku baca, Ida :')
BalasHapusAndai bisa mengenal beliau berdua ...