Sebagai seorang
penghulu, papa selalu memberikan nasehat pernikahan saat calon mempelai datang
mendaftarkan dirinya untuk dinikahkan. Papa akan memberikan wejangan pada calon
pengantin laki-laki. Sementara mama akan memberikan nasehat pada calon mempelai
perempuan.
Seperti malam itu,
seorang pemuda datang membawa calon istrinya yang belum menamatkan SMP ke
rumah.
“Menjadi istri itu
cobaannya sangat berat, apakah kamu sudah siap untuk itu, sementara kamu masih
sangat muda?” tanya mama.
“Insyaa Allah, Bu, saya
siap,” jawab perempuan itu dengan mantap.
“Satu pesan saya
sebagai sesama perempuan. Ketika kita marah, kontrollah ucapan. Lebih baik diam
dari pada segala macam caci maki terlontar yang akan sangat kita sesali setelah
emosi mereda. Apalagi kelak setelah punya anak,” ujar mama panjang lebar.
“Seperti saya dan Bapak
di rumah ini, anak-anak tidak pernah mendengarkan kami bertengkar. Karena
ketika ada masalah atau ketidak sepahaman, kami memilih untuk diam. Setelah
emosi mereda, barulah kami membicarakannya baik-baik.”
Malam itu mama tidak
tahu saya menguping pembicaraan mereka. Selama ini saya tidak pernah
menyaksikan papa dan mama bertengkar bukan karena semuanya baik-baik saja. Mereka
menjaga telinga kami dari lontaran kata-kata kasar yang mungkin saja keluar
sebagai dorongan emosi. Sejak saat itu saya tahu kapan mama dan papa
bertengkar. Saat mereka memilih untuk diam.
***
Tidak pernah saya
dapatkan cinta yang seindah cinta mereka. Bahkan saat menonton drama-drama
Korea, karena saya tahu itu adalah settingan.
Mama selalu berusaha menaungi seluruh keluarga dengan limpahan kasih yang tidak
akan terputus. Sementara papa menopang segala keputusan mama dengan dorongan
keikhlasan dan penerimaan. Bukan karena papa lelaki takut istri. Namun tak
lebih karena kecintaan dan kepercayaan papa pada mama.
Betapa cinta dan kasih
papa dan mama begitu dalam dan besar. Rasa cinta yang bersemi di dunia pun
berharap berlanjut ke surga. Bukan karena saya adalah anak sehingga memihak dan
mengagungkan mereka. Tapi saya melihat sendiri saat memposisikan diri sebagai
penonton di detik-detik kepergian papa.
“Maafkan saya jika
selama ini banyak berbuat salah dan mengecewakanmu,” ujar papa ke mama dengan
linangan air mata.
“Saya juga minta maaf
dengan semua kekurangan dan salah-salahku,” balas mama. Suara mama yang
ditegar-tegarkan jelas sekali terdengar. Mama terus saja mengelus-elus kepala papa.
“Jika memang sudah
saatnya papa pergi, pergilah dengan tenang. Jangan khawatirkan anak-anak, saya
akan mengurusnya.”
“Tapi, papa harus berjanji,
tunggu kami di pintu surga,” lanjut mama.
Dengan pasti papa
mengangguk, “Inysaa Allah.”
Setelah ikrar janji
itu, tekanan darah papa tidak lagi normal. Meninggalkan titik 140 menuju titik
0. Beriringan dengan kesadaran papa yang semakin menurun. Sampai akhirnya papa
benar-benar meninggalkan jasadnya. Membawa janjinya dan meninggalkan mama
dengan janji yang sama. Janji yang harus dipegang erat dan terus diperjuangkan
agar terjaga dari kejamnya dunia. Hingga kelak janji itu menjadi kesatuan yang
utuh. Meneruskan cinta yang terpisah oleh dimensi ruang dan waktu, dunia dan
akhirat.
Idaaaaaaaaaaaaa indahnya kisah ini :')
BalasHapusSaya dan suami juga kalo bertengkar ndak terdengar.
Saya usahakan sekali seperti itu. Orang tuaku ndak pernah dengar saya bertengkar padahal kami serumah.
Kalo debat2 kecil ada ji tapi bukan bertengkar. Biasa kalo menanggapi berita yang sedang trend.
Bagusnya kisah beliau berdua jadi novel. Ida
Terima kasih kak Mugniar sudah menyiapkan waktu membaca 3 tulisan ini. Mudah-mudahan ada pelajaran yg bisa dipetik dari kisah papa dan mama.
HapusIye kah kak? Mau coba bikin outlinenya kalau begitu
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Hapus