Sabtu, 30 Januari 2016

Cinta yang Tak Usai (Bagian 3)



Sebagai seorang penghulu, papa selalu memberikan nasehat pernikahan saat calon mempelai datang mendaftarkan dirinya untuk dinikahkan. Papa akan memberikan wejangan pada calon pengantin laki-laki. Sementara mama akan memberikan nasehat pada calon mempelai perempuan.
Seperti malam itu, seorang pemuda datang membawa calon istrinya yang belum menamatkan SMP ke rumah.
“Menjadi istri itu cobaannya sangat berat, apakah kamu sudah siap untuk itu, sementara kamu masih sangat muda?” tanya mama.
“Insyaa Allah, Bu, saya siap,” jawab perempuan itu dengan mantap.
“Satu pesan saya sebagai sesama perempuan. Ketika kita marah, kontrollah ucapan. Lebih baik diam dari pada segala macam caci maki terlontar yang akan sangat kita sesali setelah emosi mereda. Apalagi kelak setelah punya anak,” ujar mama panjang lebar.
“Seperti saya dan Bapak di rumah ini, anak-anak tidak pernah mendengarkan kami bertengkar. Karena ketika ada masalah atau ketidak sepahaman, kami memilih untuk diam. Setelah emosi mereda, barulah kami membicarakannya baik-baik.”
Malam itu mama tidak tahu saya menguping pembicaraan mereka. Selama ini saya tidak pernah menyaksikan papa dan mama bertengkar bukan karena semuanya baik-baik saja. Mereka menjaga telinga kami dari lontaran kata-kata kasar yang mungkin saja keluar sebagai dorongan emosi. Sejak saat itu saya tahu kapan mama dan papa bertengkar. Saat mereka memilih untuk diam.
***
Tidak pernah saya dapatkan cinta yang seindah cinta mereka. Bahkan saat menonton drama-drama Korea, karena saya tahu itu adalah settingan. Mama selalu berusaha menaungi seluruh keluarga dengan limpahan kasih yang tidak akan terputus. Sementara papa menopang segala keputusan mama dengan dorongan keikhlasan dan penerimaan. Bukan karena papa lelaki takut istri. Namun tak lebih karena kecintaan dan kepercayaan papa pada mama.
Betapa cinta dan kasih papa dan mama begitu dalam dan besar. Rasa cinta yang bersemi di dunia pun berharap berlanjut ke surga. Bukan karena saya adalah anak sehingga memihak dan mengagungkan mereka. Tapi saya melihat sendiri saat memposisikan diri sebagai penonton di detik-detik kepergian papa.
“Maafkan saya jika selama ini banyak berbuat salah dan mengecewakanmu,” ujar papa ke mama dengan linangan air mata.
“Saya juga minta maaf dengan semua kekurangan dan salah-salahku,” balas mama. Suara mama yang ditegar-tegarkan jelas sekali terdengar. Mama terus saja mengelus-elus kepala papa.
“Jika memang sudah saatnya papa pergi, pergilah dengan tenang. Jangan khawatirkan anak-anak, saya akan mengurusnya.”
“Tapi, papa harus berjanji, tunggu kami di pintu surga,” lanjut mama.
Dengan pasti papa mengangguk, “Inysaa Allah.”
Setelah ikrar janji itu, tekanan darah papa tidak lagi normal. Meninggalkan titik 140 menuju titik 0. Beriringan dengan kesadaran papa yang semakin menurun. Sampai akhirnya papa benar-benar meninggalkan jasadnya. Membawa janjinya dan meninggalkan mama dengan janji yang sama. Janji yang harus dipegang erat dan terus diperjuangkan agar terjaga dari kejamnya dunia. Hingga kelak janji itu menjadi kesatuan yang utuh. Meneruskan cinta yang terpisah oleh dimensi ruang dan waktu, dunia dan akhirat.

3 komentar:

  1. Idaaaaaaaaaaaaa indahnya kisah ini :')

    Saya dan suami juga kalo bertengkar ndak terdengar.
    Saya usahakan sekali seperti itu. Orang tuaku ndak pernah dengar saya bertengkar padahal kami serumah.
    Kalo debat2 kecil ada ji tapi bukan bertengkar. Biasa kalo menanggapi berita yang sedang trend.

    Bagusnya kisah beliau berdua jadi novel. Ida

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih kak Mugniar sudah menyiapkan waktu membaca 3 tulisan ini. Mudah-mudahan ada pelajaran yg bisa dipetik dari kisah papa dan mama.

      Iye kah kak? Mau coba bikin outlinenya kalau begitu

      Hapus
    2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus