Sabtu, 30 Januari 2016

Cintai yang Tak Usai (Bagian 2)



Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, bila bukan dia yang berusaha merubah itu. Itu yang sangat diyakini mama. Dengan persetujuan papa, mama mendaftarkan diri di Sekolah Pendidikan Guru.
“Jika lulus, yang harus papa yakini adalah ini rezeki papa dari Allah yang datang melalui tangan mama,” ujar mama saat meminta izin papa.
Sementara papa yang saat itu menunggu surat keputusan pengangkatan sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Madrasah Tsanawiyah agak keberatan dengan pilihan mama.
“Bagaimana dengan anak-anak kita kelak? Siapa yang akan mengasuhnya saat kita berdua sibuk mengurusi anak-anak orang?” tanya papa.
“Pa, ini adalah kesempatan yang tidak tahu kapan lagi datangnya,” kata mama.
“Kalau pun semisalnya, kita berdua lulus, maka yang mendapat SK (Surat Keputusan) pengangkatan PNS pertama kali yang menjadi guru,” lanjut mama.
Papa adalah lelaki yang sangat demokratis. Tidak ada sedikitpun dalam benaknya sebuah arogansi sebagai seorang lelaki yang senantiasa pemikirannya yang harus didengarkan. Dia bukan seorang yang otoriter. Selama apa yang dikatakan mama baik, maka orang pertama yang mendukungnya adalah papa.
Karena SK pertama turun adalah SK PNS mama, maka mama kemudian menjadi guru. Sementara papa dengan sukarela mengundurkan diri dari sekolah demi kami anak-anaknya dan memilih menjadi petani. Pagi saat mama harus mengajar, papa tinggal merawat kami. Setelah mama pulang ke rumah, papa kembali ke rutinitasnya di kebun. Kalaupun papa harus meninggalkan kami saat tanamannya memasuki musim panen, maka adik mama yang akan menjaga kami.
***
Papa adalah lelaki yang sangat pendiam. Kata-kata yang dikeluarkannya hanya seperlunya saja. Namun dibalik diamnya papa adalah lelaki romantis.
“Papa habis kasih surprise ke mama,” cerita mama suatu hari lewat telepon.
“Surprise apa?” tanyaku.
“Blender mama rusak, jadinya selalu minjam ke tetangga. Nah, tadi pagi papa bilang bikin malu-malu pinjam terus. Pas mama pulang sekolah, blender yang masih di dalam box sudah ada di atas meja. Padahal tadi pagi papa pamit ke Pasar mau beli pupuk.”
“Tahu tidak dari mana uangnya?” tanya Mama.
Tanpa menunggu jawabanku, mama melanjutkan, “Gaji imamnya yang ditabung beberapa bulan.” Yah, selain menjadi petani papa diamanahi menjadi imam Masjid kecamatan karena hafalannya banyak dan pelafalannya yang tartil.
Bukan hanya itu, papa pernah menjadi penghulu. Dinikahkan papa adalah mimpi terindah dari seorang anak gadis. Namun apa daya papa telah pergi sebelum menunaikan kewajibannya sebagai wali nikah untukku.
Papa benar-benar lelaki romantis. Dia bukanlah pekerja kantoran yang digaji perbulan. Hanya mengandalkan hasil kebun merica sekali setahun, gaji sebagai penghulu dan imam masjid yang tidak seberapa. Tidak hanya surprise blender, dengan penghasilan seadanya papa menabung untuk membelikan mama sebuah kulkas.
Karena keromantisannya, papa sangat disayang mertua. Berapapun penghasilannya, papa akan menyisihkan untuk nenek. Papa akan menyengaja menyambangi nenek demi menyerahkan langsung sedikit uangnya atau makanan yang dibelinya sendiri. Setelah pemakaman papa nenek barulah bercerita tentang semua ini.
***
Sekalipun mama adalah pegawai negeri sipil dengan gaji menentu tiap bulan, tapi mama tidak bisa bebas membelanjakan uangnya untuk mempercantik rumah kami dengan segala fasilitas elektronik. Atau mengoleksi segala macam perhiasan untuk dirinya. Barang termewah di rumah kami saat itu hanya televisi 14 inci hitam putih.
“Hanya keberkahan sehingga gaji mama dan hasil kebun papa bisa mencukupi kebutuhan kita semua,” ucap mama penuh syukur. Saat itu, aku, kakak, dan mama sedang menempuh kuliah strata 1.
Penghasilan mereka jauh dari cukup untuk membuat hidup kami merasa bebas secara finansial. Tapi mama tidak pernah menuntut papa dengan kekurangan itu semua. Mama mensyukuri semua senang dan susah yang dialaminya.

Bersambung…

1 komentar:

  1. Barakallah .. terharuku baca, Ida :')
    Andai bisa mengenal beliau berdua ...

    BalasHapus