Sabtu, 30 Januari 2016

Cinta yang Tak Usai (Bagian 1)



Dapur adalah tempat terlama bagi saya dan mama untuk menghabiskan waktu saat bersama. Bercerita segala hal, tentang beratnya kehidupan sampai dawai canda mengiringi tawa sebagai musik terindah. Pun pasti, lincah gerakan tangan tidak berkurang ritmenya. Talk less do more, tidak berlaku saat itu. Hal yang tidak selalu bisa kami lakukan, sekalipun menginginkannya.

Saya tinggal di kota Makassar. Sedangkan mama berada jauh 350 km lebih dari Makassar. Hanya sekali sebulan saya akan mengunjunginya. Menjenguk mama dan adik bungsuku. Tak lupa berziarah ke makam almarhum papa.
Yah, papa telah meninggalkan kami, saya, mama dan keempat saudara beserta ipar dan satu cucu yang tidak pernah ditimangnya. Beliau pergi saat kepala-kepala tertunduk merapal doa untuk para pahlawan bangsa di hari pahlawan. Dan benar dia adalah pahlawan kami yang sampai akhir hayatnya hanya berpikir kebaikan untuk istri dan anak-anaknya.
Di dapur inilah mama selalu bercerita tentang cintanya. Bahkan semasa papa masih hidup, cerita itu telah berulang dikisahkannya.
“Keputusan mama menerima lamaran papa ditentang keluarga besar,” kisah mama malam itu sambil memarut kelapa.
“Tapi nenek laki-laki dan nenek perempuan mendukung mama sepenuhnya.”
“Banyak keluarga mencibir karena memilih papa yang tidak sempurna.”
Papa adalah laki-laki yang tidak normal secara fisik. Cacar yang menyerangnya saat muda dulu menyebabkan kebutaan pada mata kirinya. Saat itu vaksin masih menjadi barang langka, sehingga cacar masih menjadi penyebab kematian atau menimbulkan gejala klinik yang sangat parah pada penderita. Namun cacat fisik papa tidak pernah mengurangi kebanggaan pada kisah yang mengalir lancar dari mulut mama.
“Pilihan mama tepat, nak, mama yakin itu,” lanjutnya dengan mata yang mulai mengaca.
“Hanya iman yang mampu membuat hidup menjadi ringan di kehidupan yang berat. Hanya iman yang membuat segalanya menjadi mudah saat kesusahan bertubi-tubi menghujani kita. Bersama papa, mama merasakan itu.”
Mama terus bercerita mengapa dirinya rela menjadikan papa sebagai imamnya. Di masa mudanya, papa adalah seorang Qori’ yang telah malang melintang mengikuti lomba Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) tingkat nasional, guru mengaji sekaligus guru honorer di Madrasah Tsanawiyah.
Bobot, bibit dan bebet, adalah prinsip mama memilih papa. Selain pada papa, mama telah jatuh hati pada keluarga papa. Papa terlahir dari keluarga Muhammadiyah. Keluarga papa adalah keluarga yang berpikiran maju. Mama yang terlahir dari seorang petani miskin dan penjual gula merah membaca semua itu.
“Mama ingin punya keturunan dari orang hebat, sehingga anak-anak mama pun kelak menjadi orang hebat. Sekalipun mama tahu memilih menikah dengan papa akan menjadi masa sulit.”
Papa terlahir dari seorang ayah pandai emas dan Ibu dari keturunan puang (bangsawan) namun kehidupan nyaman itu tidak kekal. Setelah si jago merah melahap habis harta benda kakek, kehidupan papa menjadi susah. Itu menjadi alasan kenapa banyak kerabat mama yang menentang papa.
Saya tahu kehidupan mama dan papa serba kekurangan. Setelah saya dan kakak lahir, kami sempat merasakan keadaan itu. Beberapa kali harus tinggal di rumah kebun. Karena kami masih anak-anak tidak ada duka dari susah itu. Ditengah gelapnya malam, suara jangrik bersahutan, atau riuh babi berpesta berebut pokok-pokok jagung, kami masih bisa tertawa. Malam itu, kakak dan saya berebut sendok kecil yang cuma satu. Tidak ada yang mau mengalah. Kami saling berteriak ketika seekor babi hutan melewati rumah kebun. Sontak riuh pertengkaran tiba-tiba lengang. Mama dan papa tertawa melihat kami yang melompat ke tengah-tengah mereka.
Hanya ketika jagung telah dipanen kami akan kembali ke kampung, ke rumah nenek.

Bersambung…

1 komentar:

  1. Terharu Ida ... pengen baca sambungannya.

    Indahnya kebersamaan dengan Mama di' ....

    BalasHapus