Dapur adalah tempat
terlama bagi saya dan mama untuk menghabiskan waktu saat bersama. Bercerita
segala hal, tentang beratnya kehidupan sampai dawai canda mengiringi tawa
sebagai musik terindah. Pun pasti, lincah gerakan tangan tidak berkurang
ritmenya. Talk less do more, tidak
berlaku saat itu. Hal yang tidak selalu bisa kami lakukan, sekalipun
menginginkannya.
Saya tinggal di kota
Makassar. Sedangkan mama berada jauh 350 km lebih dari Makassar. Hanya sekali
sebulan saya akan mengunjunginya. Menjenguk mama dan adik bungsuku. Tak lupa
berziarah ke makam almarhum papa.
Yah, papa telah
meninggalkan kami, saya, mama dan keempat saudara beserta ipar dan satu cucu
yang tidak pernah ditimangnya. Beliau pergi saat kepala-kepala tertunduk
merapal doa untuk para pahlawan bangsa di hari pahlawan. Dan benar dia adalah
pahlawan kami yang sampai akhir hayatnya hanya berpikir kebaikan untuk istri
dan anak-anaknya.
Di dapur inilah mama
selalu bercerita tentang cintanya. Bahkan semasa papa masih hidup, cerita itu
telah berulang dikisahkannya.
“Keputusan mama
menerima lamaran papa ditentang keluarga besar,” kisah mama malam itu sambil
memarut kelapa.
“Tapi nenek laki-laki
dan nenek perempuan mendukung mama sepenuhnya.”
“Banyak keluarga
mencibir karena memilih papa yang tidak sempurna.”
Papa adalah laki-laki
yang tidak normal secara fisik. Cacar yang menyerangnya saat muda dulu
menyebabkan kebutaan pada mata kirinya. Saat itu vaksin masih menjadi barang
langka, sehingga cacar masih menjadi penyebab kematian atau menimbulkan gejala
klinik yang sangat parah pada penderita. Namun cacat fisik papa tidak pernah
mengurangi kebanggaan pada kisah yang mengalir lancar dari mulut mama.
“Pilihan mama tepat,
nak, mama yakin itu,” lanjutnya dengan mata yang mulai mengaca.
“Hanya iman yang mampu
membuat hidup menjadi ringan di kehidupan yang berat. Hanya iman yang membuat
segalanya menjadi mudah saat kesusahan bertubi-tubi menghujani kita. Bersama papa,
mama merasakan itu.”
Mama terus bercerita
mengapa dirinya rela menjadikan papa sebagai imamnya. Di masa mudanya, papa
adalah seorang Qori’ yang telah malang melintang mengikuti lomba Musabaqah
Tilawatil Quran (MTQ) tingkat nasional, guru mengaji sekaligus guru honorer di
Madrasah Tsanawiyah.
Bobot, bibit dan bebet,
adalah prinsip mama memilih papa. Selain pada papa, mama telah jatuh hati pada
keluarga papa. Papa terlahir dari keluarga Muhammadiyah. Keluarga papa adalah
keluarga yang berpikiran maju. Mama yang terlahir dari seorang petani miskin dan
penjual gula merah membaca semua itu.
“Mama ingin punya
keturunan dari orang hebat, sehingga anak-anak mama pun kelak menjadi orang hebat.
Sekalipun mama tahu memilih menikah dengan papa akan menjadi masa sulit.”
Papa terlahir dari
seorang ayah pandai emas dan Ibu dari keturunan puang (bangsawan) namun kehidupan nyaman itu tidak kekal. Setelah si
jago merah melahap habis harta benda kakek, kehidupan papa menjadi susah. Itu
menjadi alasan kenapa banyak kerabat mama yang menentang papa.
Saya tahu kehidupan mama
dan papa serba kekurangan. Setelah saya dan kakak lahir, kami sempat merasakan
keadaan itu. Beberapa kali harus tinggal di rumah kebun. Karena kami masih
anak-anak tidak ada duka dari susah itu. Ditengah gelapnya malam, suara jangrik
bersahutan, atau riuh babi berpesta berebut pokok-pokok jagung, kami masih bisa
tertawa. Malam itu, kakak dan saya berebut sendok kecil yang cuma satu. Tidak
ada yang mau mengalah. Kami saling berteriak ketika seekor babi hutan melewati
rumah kebun. Sontak riuh pertengkaran tiba-tiba lengang. Mama dan papa tertawa
melihat kami yang melompat ke tengah-tengah mereka.
Hanya ketika jagung
telah dipanen kami akan kembali ke kampung, ke rumah nenek.
Bersambung…
Terharu Ida ... pengen baca sambungannya.
BalasHapusIndahnya kebersamaan dengan Mama di' ....