Kamis, 25 Desember 2014

Permen, Shalat, Al-Qur’an dan Jujur



Entah berapa puluh kali atau mungkin telah ratusan saya melintasi daerah ini saat pergi ke Makassar atau saat pulang. Tapi menyengaja menjejakkan kaki di kampung ini adalah yang pertama kalinya. Batu Rampun, salah satu desa di Kecamatan Anggeraja Kabupaten Enrekang. Bukan tanpa alasan saya ada di kampung ini. Bahkan alasan ini menjadi alasan utama kepulangan saya dari Makassar.
Teman sekelas di kelas satu sampai kelas tiga Madrasah Aliyah dulu dan juga masih keluarga akan menikah. Calonnya pun bukan orang lain, melainkan salah seorang best friend saat MA. Meskipun  hanya sekali kita sekelas tapi sampai hari ini  komunikasi masih terjalin intens setelah 10 tahun meninggalkan sekolah.

Saya teringat cerita mama beberapa bulan lalu ketika mengunjungi desa ini. ketika tante teman saya meninggal dunia. Mama menemui ibu dari tante yang meninggal. Seorang nenek yang mungkin telah berumur kurang lebih 100 tahun. Beliau berpesan pada mama untuk menjaga kami anak-anaknya. 

Setelah acara pernikahan selesai, saya menemui nenek teman saya yang menikah. Nenek yang masih bersepupu dengan almarhumah nenek saya, ibu dari almarhum papa. Saya memperkenalkan diri dengan menyebut nama mama. Tapi ternyata nenek ini tidak familiar dengan nama mama. Setelah menyebutkan nama papa, sambil berbaring nenek mengelus-elus lengan saya dengan lembut.

“Lihat toples permenku?” tanya nenek yang tetap berbaring sambil meraba-raba ranjang di atas kepalanya.
“Ini, nek,” kataku sambil menyodorkan toples yang dicarinya. Mungkin nenek mau makan permen, pikirku.
Dengan tangan bergetar, nenek membuka tutup toples. Diambilnya segenggam permen dan diberikan padaku. Setelah itu nenek mulai bercerita tentang hubungannya dengan nenek, papa dan keluarga lainnya.
“Satu pesanku, jangan pernah lupakan!” jeda sesaat, nenek mengatur nafasnya.
“Jaga shalat, mengaji dan selalu jujur,” lanjutnya.
“Iya, nek,” jawabku.

Entah mengapa tiba-tiba mataku mengabur oleh air mata yang telah mengaca. Di usia yang telah senja, nenek masih mampu mengerjakan islam secara kaffah. Nenek selalu menggunakan jilbab saat pintu kamarnya terbuka, kamar yang langsung terhubung dengan beranda depan. Bahkan nenek dengan usianya selalu menangkupkan kedua tangannya saat ada laki-laki bukan muhrim yang ingin bersalaman dengannya. Sementara aku, ahhh memalukan. Dengan enteng menjulurkan tangan menjabat erat tangan-tangan sahabat lelaki sambil berucap, “apa kabar ces?”

“Mana anak-anakmu?” tanya nenek membuyarkan lamunanku.
“Saya belum menikah, nek,” jawabku tersipu.
“Saya doakan semoga ketemu jodoh yang terbaik dari Allah.” Nenek merapal doa sambil mengusap-usap lembut lenganku.
“Jangan pilih laki-laki yang akan memadamkan api Islam. Ada dua ciri-cirinya.”
“Pertama, musyrik. Laki-laki yang menyembah-nyembah selain Allah.”
“Kedua, munafik. Orang yang tidak sesuai perkataan dan perbuatannya.”
“Jangan pernah pilih laki-laki dengan dua ciri ini,” nasehat nenek panjang lebar.

Tiba saat berpamitan, nenek kembali mengingatkan pesannya tentang jangan pernah meninggalkan shalat, teruslah membaca Al-Quran sebagai pedoman hidup serta berkata dan berbuat jujur. (Muj)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar