Entah berapa puluh kali atau mungkin
telah ratusan saya melintasi daerah ini saat pergi ke Makassar atau saat
pulang. Tapi menyengaja menjejakkan kaki di kampung ini adalah yang pertama
kalinya. Batu Rampun, salah satu desa di Kecamatan Anggeraja Kabupaten
Enrekang. Bukan tanpa alasan saya ada di kampung ini. Bahkan alasan ini menjadi
alasan utama kepulangan saya dari Makassar.
Teman sekelas di kelas satu sampai
kelas tiga Madrasah Aliyah dulu dan juga masih keluarga akan menikah. Calonnya
pun bukan orang lain, melainkan salah seorang best friend saat MA. Meskipun hanya sekali kita sekelas tapi sampai hari
ini komunikasi masih terjalin intens
setelah 10 tahun meninggalkan sekolah.
Saya teringat cerita mama beberapa bulan
lalu ketika mengunjungi desa ini. ketika tante teman saya meninggal dunia. Mama
menemui ibu dari tante yang meninggal. Seorang nenek yang mungkin telah berumur
kurang lebih 100 tahun. Beliau berpesan pada mama untuk menjaga kami
anak-anaknya.
Setelah acara pernikahan selesai, saya
menemui nenek teman saya yang menikah. Nenek yang masih bersepupu dengan
almarhumah nenek saya, ibu dari almarhum papa. Saya memperkenalkan diri dengan
menyebut nama mama. Tapi ternyata nenek ini tidak familiar dengan nama mama.
Setelah menyebutkan nama papa, sambil berbaring nenek mengelus-elus lengan saya
dengan lembut.
“Lihat toples permenku?” tanya nenek
yang tetap berbaring sambil meraba-raba ranjang di atas kepalanya.
“Ini, nek,” kataku sambil menyodorkan
toples yang dicarinya. Mungkin nenek mau makan permen, pikirku.
Dengan tangan bergetar, nenek membuka
tutup toples. Diambilnya segenggam permen dan diberikan padaku. Setelah itu
nenek mulai bercerita tentang hubungannya dengan nenek, papa dan keluarga
lainnya.
“Satu pesanku, jangan pernah lupakan!”
jeda sesaat, nenek mengatur nafasnya.
“Jaga shalat, mengaji dan selalu jujur,”
lanjutnya.
“Iya, nek,” jawabku.
Entah mengapa tiba-tiba mataku mengabur
oleh air mata yang telah mengaca. Di usia yang telah senja, nenek masih mampu
mengerjakan islam secara kaffah. Nenek selalu menggunakan jilbab saat pintu
kamarnya terbuka, kamar yang langsung terhubung dengan beranda depan. Bahkan
nenek dengan usianya selalu menangkupkan kedua tangannya saat ada laki-laki
bukan muhrim yang ingin bersalaman dengannya. Sementara aku, ahhh memalukan. Dengan
enteng menjulurkan tangan menjabat erat tangan-tangan sahabat lelaki sambil
berucap, “apa kabar ces?”
“Mana anak-anakmu?” tanya nenek
membuyarkan lamunanku.
“Saya belum menikah, nek,” jawabku
tersipu.
“Saya doakan semoga ketemu jodoh yang
terbaik dari Allah.” Nenek merapal doa sambil mengusap-usap lembut lenganku.
“Jangan pilih laki-laki yang akan
memadamkan api Islam. Ada dua ciri-cirinya.”
“Pertama, musyrik. Laki-laki yang
menyembah-nyembah selain Allah.”
“Kedua, munafik. Orang yang tidak sesuai
perkataan dan perbuatannya.”
“Jangan pernah pilih laki-laki dengan
dua ciri ini,” nasehat nenek panjang lebar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar