Telah
seminggu berlalu saat tante mengkonfirmasi kesediaanku turut serta dalam
perjalanan menuju kampung suaminya (berarti
omku kan? Heeee…). Karena permintaan mama dan memang aku yang ingin pergi so aku oke-oke sajalah.
Rabu sore selepas ashar
kita berangkat.
Kubaca
lagi pesan yang dikirimkan tante kemarin malam. Dan masih sejam lagi sebelum
waktu itu tiba. Karena sejak pagi tidak ada kabar, aku menelepon tante untuk
memastikan. Benar, manusia punya rencana tapi hanya Allah yang mampu
mengeksekusi rencana itu. Ya atau tidaknya bergantung hak perogratif Allah.
Sejak siang sepulang dari sekolah, tante yang seorang guru sekolah dasar,
terserang diare, pusing dan muntah. Kata dokter sih, tekanan darahnya naik.
Karena kondisi ini, rencana ditunda sampai selepas magrib, menunggu kondisi
tante menjadi lebih baik.
“Tan,
bagaimana mi ki?” tanyaku lewat telepon setelah masuk waktu Isya dan belum ada
kabar.
“Baikanma
ini, darima dokter, mauka makan dulu baru minum obat,” jawab tante dengan suara
lebih bersemangat dibanding sore tadi.
“Insyaa
Allah jadi ja ki pergi, nanti kutelepon kalau sudah mau berangkat,” ujarnya
lagi.
Pukul
Sembilan lewat sepuluh menit, saat adik sepupuku, anak si tante, menelepon.
Katanya mereka menunggu di jalan poros Makassar – Gowa. Segera kusambar ransel
yang sudah kusiapkan sejak Zuhur. Aku bergegas keluar kompleks menunggu angkot
(Kita sebut saja pete-pete lebih keren
kayaknya) yang akan mengantarkanku ke tempat om, tante, dan dua adik
sepupuku menunggu. Karena sudah agak malam, pete – pete yang lewat menjadi
sangat jarang. Bentor pun tidak ada satupun yang melintas. Jalan kaki saja
pikirku. Maka mulailah aku berbelok dan melintasi aspal yang lagi sangat –
sangat berdebu.
Aku
pun bergabung di mobilnya om yang tidak hanya berempat melainkan bertujuh
dengan tiga orang keluarga dari pihak om. Om kembali melajukan mobilnya yang
akan melintasi tiga Kabupaten, yaitu Gowa, Takalar dan Jeneponto. Oh iya, aku
belum bilang kan mau kemana? Lupa heeee… Si om punya ponakan yang akan
melangsungkan pernikahan hari kamis besok di Desa Buntubodong Kecamatan
Tompobulu, kalau tidak salah masih wilayah Kabupaten Gowa. Cuma untuk menuju
kesana, ada dua pilihan jalur yang bisa dilalui. Satunya, dari Gowa berbelok
menuju Malakaji dan yang satunya lagi melalui jalan kabupaten yang melintasi
Gowa, Takalar dan Jeneponto. Pilihan kedua ini yang dipilih om, karena bisa
menghemat waktu sekitar 40 – 60 menit dibanding jalur yang pertama.
Kurasakan
mobil berguncang pelan. Aku pun terbangun. Mobil menanjak melalui jalanan yang
tidak beraspal sampai akhirnya mobil memasuki jalanan beraspal dan menurun.
Dengan kemiringan 450, mobil terus menurun sampai akhirnya aku
melihat ke sisi kiri. Dengan bantuan sinar bulan, deg, jantungku berdegup lebih kencang, tanganku berkeringat.
Mobil
berjalan dengan jurang di sisi kirinya. Mobil terus menurun kemudian berbelok
tajam dan merubah posisi jurang di sebelah kanan jalan. Jika supir telat
beberapa detik saja memutar setir pada saat berbelok di tikungan tajam, maka
kita akan berakhir terjun bebas ke kaki gunung. Bagaiamana jika rem mobil tiba – tiba blong? Bagaimana jika om tidak
bisa mengendalikan setirnya? Bagaiman jika tiba – tiba jalanan longsor? Berbagai
bagaimana berlompatan ke kepalaku. Kugelengkan kepalaku keras – keras mengusir
serangkaian bagaimana itu. Zikir terus saja kulafalkan mengusir pikiran yang
tidak – tidak. Kulirik jam di layar hp menunjukkan 00:08. Berkali kucoba
memejamkan mata tapi kantuk pun seolah takut bersamaku meniti jurang. Jalanan
menurun dan berbelok tajam akhirnya berakhir saat mobil melintasi jembatan
Bendungan Kelara. Akhirnya… tapi itu
hanya pikiranku saja.
Jalanan
menurun kini berganti tanjakan. Tikungan tajam pun masih setia menemani
perjalanan. Jurang di sisi kiri dan sisi kanan pun masih bergantian. Kulirik
jam 00:16, saat kami bertemu mobil pick
up dari arah atas. Om harus memarkir mobil di sisi kiri jalan dan mungkin
hanya terpisah 1 meter dengan jurang. Tidak hanya sampai disitu. Setelah mobil
pick up itu berlalu, mobil truk pun menikung tajam dan menuju kearah kami. Lagi
– lagi om harus memarkir mobil dan membiarkan mobil truk itu melewati kami. Dan
untunglah jurang berada di sisi kanan jalanan.
Sport
jantung pun belum berakhir di sini. Saat
mobil menanjak tiba – tiba tercium sesuatu yang terbakar, mobil pun tiba – tiba
berhenti. Ya Allah apa lagi ini? Ternyata
air karburatornya habis dan beberapa bagian yang aus. Untunglah hanya butuh
lima menit untuk kembali menghidupkan mesin mobil. Perjalanan meniti jurang Kelara
bersama tanjakan dan tikungan tajam dilanjutkan.
Pukul
00: 30, tanjakan ekstrim berujung pada perkampungan. Lega itu jelas sekali
menguasai rongga dada. Alhamdulillah… Jika
nyawa itu belum saatnya kembali pada pemilikNYA, seperti apapun maut mengintai,
raga tidak akan kehilangan ruhnya. Setelah melewati beberapa dusun dengan
jalanan beraspal yang berlubang-lubang, mobil berbelok ke kiri memasuki jalanan
tanpa pengerasan sama sekali.
“Kalau
tadi sebelum berangkat kita minum susu, pasti sudah jadi milk shake mi di lambung,” ucapku memecah keheningan yang disambut
tawa adik sepupuku. Kata – kata yang tertahan di tenggorokan selama meniti
jurang Kelara akhirnya bermunculan satu-satu.
Setelah
beberapa saat berharlame shake ria
tibalah kami pada perbatasan desa Buntubodong. Sebuah gapura bercat kuning
hitam bertuliskan Selamat Datang. Warna Gapura ini berbeda dengan penanda batas
dusun yang bercat biru putih yang kami lalui tadi. Pemberian warna biasanya
berdasarkan warna jaket almamater (waktu
kecil liat KKN masuk kampung sih gitu, jaketnya orange, batas desa jadi orange
juga, jaketnya merah batas desa pun jadi merah).
“Alahamdulillah,”
ujar Om saat melintasi perbatasan itu.
Oh,
sudah dekat mungkin, pikirku. Ini kali kedua aku ke kampung ini. Pertama kalinya
tahun 2008 atau 2009 bersama Mama juga tapi melalui jalur yang lain. Lima menit
berikutnya, 00:40 mobil berhenti di depan sebuah rumah berhiaskan lamming ciri khas rumah pengantin
Sulawesi Selatan.
Beberapa
keluarga menyambut kedatangan kami. Namun yang lebih ekstrim adalah makanan
yang tersaji untuk kami, ehh aku, yang sedang diet. Tidak apalah kali ini
dilanggar saja. Karena memang lagi lapar dan tidak enak pada yang empunya
rumah. Yang ini terkesan excuse saja
hehehe… Tapi makan tengah malam saat berdiet menjadi kalah ekstrimnya
dibanding menantang maut di jurang Kelara disiang hari untukku yang pobhia
ketinggian.
Bontobuddung, 9 Oktober 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar