Sabtu, 11 Oktober 2014

MENITI JURANG KELARA



Telah seminggu berlalu saat tante mengkonfirmasi kesediaanku turut serta dalam perjalanan menuju kampung suaminya (berarti omku kan? Heeee…). Karena permintaan mama dan memang aku yang ingin pergi so aku oke-oke sajalah.

Rabu sore selepas ashar kita berangkat.
Kubaca lagi pesan yang dikirimkan tante kemarin malam. Dan masih sejam lagi sebelum waktu itu tiba. Karena sejak pagi tidak ada kabar, aku menelepon tante untuk memastikan. Benar, manusia punya rencana tapi hanya Allah yang mampu mengeksekusi rencana itu. Ya atau tidaknya bergantung hak perogratif Allah. Sejak siang sepulang dari sekolah, tante yang seorang guru sekolah dasar, terserang diare, pusing dan muntah. Kata dokter sih, tekanan darahnya naik. Karena kondisi ini, rencana ditunda sampai selepas magrib, menunggu kondisi tante menjadi lebih baik. 

“Tan, bagaimana mi ki?” tanyaku lewat telepon setelah masuk waktu Isya dan belum ada kabar.
“Baikanma ini, darima dokter, mauka makan dulu baru minum obat,” jawab tante dengan suara lebih bersemangat dibanding sore tadi.
“Insyaa Allah jadi ja ki pergi, nanti kutelepon kalau sudah mau berangkat,” ujarnya lagi.

Pukul Sembilan lewat sepuluh menit, saat adik sepupuku, anak si tante, menelepon. Katanya mereka menunggu di jalan poros Makassar – Gowa. Segera kusambar ransel yang sudah kusiapkan sejak Zuhur. Aku bergegas keluar kompleks menunggu angkot (Kita sebut saja pete-pete lebih keren kayaknya) yang akan mengantarkanku ke tempat om, tante, dan dua adik sepupuku menunggu. Karena sudah agak malam, pete – pete yang lewat menjadi sangat jarang. Bentor pun tidak ada satupun yang melintas. Jalan kaki saja pikirku. Maka mulailah aku berbelok dan melintasi aspal yang lagi sangat – sangat berdebu.

Aku pun bergabung di mobilnya om yang tidak hanya berempat melainkan bertujuh dengan tiga orang keluarga dari pihak om. Om kembali melajukan mobilnya yang akan melintasi tiga Kabupaten, yaitu Gowa, Takalar dan Jeneponto. Oh iya, aku belum bilang kan mau kemana? Lupa heeee… Si om punya ponakan yang akan melangsungkan pernikahan hari kamis besok di Desa Buntubodong Kecamatan Tompobulu, kalau tidak salah masih wilayah Kabupaten Gowa. Cuma untuk menuju kesana, ada dua pilihan jalur yang bisa dilalui. Satunya, dari Gowa berbelok menuju Malakaji dan yang satunya lagi melalui jalan kabupaten yang melintasi Gowa, Takalar dan Jeneponto. Pilihan kedua ini yang dipilih om, karena bisa menghemat waktu sekitar 40 – 60 menit dibanding jalur yang pertama.

Kurasakan mobil berguncang pelan. Aku pun terbangun. Mobil menanjak melalui jalanan yang tidak beraspal sampai akhirnya mobil memasuki jalanan beraspal dan menurun. Dengan kemiringan 450, mobil terus menurun sampai akhirnya aku melihat ke sisi kiri. Dengan bantuan sinar bulan, deg, jantungku berdegup lebih kencang, tanganku berkeringat.

Mobil berjalan dengan jurang di sisi kirinya. Mobil terus menurun kemudian berbelok tajam dan merubah posisi jurang di sebelah kanan jalan. Jika supir telat beberapa detik saja memutar setir pada saat berbelok di tikungan tajam, maka kita akan berakhir terjun bebas ke kaki gunung. Bagaiamana jika rem mobil tiba – tiba blong? Bagaimana jika om tidak bisa mengendalikan setirnya? Bagaiman jika tiba – tiba jalanan longsor? Berbagai bagaimana berlompatan ke kepalaku. Kugelengkan kepalaku keras – keras mengusir serangkaian bagaimana itu. Zikir terus saja kulafalkan mengusir pikiran yang tidak – tidak. Kulirik jam di layar hp menunjukkan 00:08. Berkali kucoba memejamkan mata tapi kantuk pun seolah takut bersamaku meniti jurang. Jalanan menurun dan berbelok tajam akhirnya berakhir saat mobil melintasi jembatan Bendungan Kelara. Akhirnya… tapi itu hanya pikiranku saja.

Jalanan menurun kini berganti tanjakan. Tikungan tajam pun masih setia menemani perjalanan. Jurang di sisi kiri dan sisi kanan pun masih bergantian. Kulirik jam 00:16, saat kami bertemu mobil pick up dari arah atas. Om harus memarkir mobil di sisi kiri jalan dan mungkin hanya terpisah 1 meter dengan jurang. Tidak hanya sampai disitu. Setelah mobil pick up itu berlalu, mobil truk pun menikung tajam dan menuju kearah kami. Lagi – lagi om harus memarkir mobil dan membiarkan mobil truk itu melewati kami. Dan untunglah jurang berada di sisi kanan jalanan.

Sport jantung pun belum berakhir  di sini. Saat mobil menanjak tiba – tiba tercium sesuatu yang terbakar, mobil pun tiba – tiba berhenti. Ya Allah apa lagi ini? Ternyata air karburatornya habis dan beberapa bagian yang aus. Untunglah hanya butuh lima menit untuk kembali menghidupkan mesin mobil. Perjalanan meniti jurang Kelara bersama tanjakan dan tikungan tajam dilanjutkan.

Pukul 00: 30, tanjakan ekstrim berujung pada perkampungan. Lega itu jelas sekali menguasai rongga dada. Alhamdulillah… Jika nyawa itu belum saatnya kembali pada pemilikNYA, seperti apapun maut mengintai, raga tidak akan kehilangan ruhnya. Setelah melewati beberapa dusun dengan jalanan beraspal yang berlubang-lubang, mobil berbelok ke kiri memasuki jalanan tanpa pengerasan sama sekali.
“Kalau tadi sebelum berangkat kita minum susu, pasti sudah jadi milk shake mi di lambung,” ucapku memecah keheningan yang disambut tawa adik sepupuku. Kata – kata yang tertahan di tenggorokan selama meniti jurang Kelara akhirnya bermunculan satu-satu.  

Setelah beberapa saat berharlame shake ria tibalah kami pada perbatasan desa Buntubodong. Sebuah gapura bercat kuning hitam bertuliskan Selamat Datang. Warna Gapura ini berbeda dengan penanda batas dusun yang bercat biru putih yang kami lalui tadi. Pemberian warna biasanya berdasarkan warna jaket almamater (waktu kecil liat KKN masuk kampung sih gitu, jaketnya orange, batas desa jadi orange juga, jaketnya merah batas desa pun jadi merah).

“Alahamdulillah,” ujar Om saat melintasi perbatasan itu.
Oh, sudah dekat mungkin, pikirku. Ini kali kedua aku ke kampung ini. Pertama kalinya tahun 2008 atau 2009 bersama Mama juga tapi melalui jalur yang lain. Lima menit berikutnya, 00:40 mobil berhenti di depan sebuah rumah berhiaskan lamming ciri khas rumah pengantin Sulawesi Selatan.

Beberapa keluarga menyambut kedatangan kami. Namun yang lebih ekstrim adalah makanan yang tersaji untuk kami, ehh aku, yang sedang diet. Tidak apalah kali ini dilanggar saja. Karena memang lagi lapar dan tidak enak pada yang empunya rumah. Yang ini terkesan excuse saja hehehe… Tapi makan tengah malam saat berdiet menjadi kalah ekstrimnya dibanding menantang maut di jurang Kelara disiang hari untukku yang pobhia ketinggian.

  * Sayangnya tidak ada foto

Bontobuddung, 9 Oktober 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar