Menemani
ponakanku, Dede’, panggilan akrabnya karena dia bungsu, mengerjakan pekerjaan
rumah alias PR telah menjadi tugasku saat bundanya belum pulang dari kantor.
Ibu pengganti, kadang
bundanya sematkan padaku (learn to be a mom menurutku). Setelah kurikulum 2013 berlaku, aku harus membiasakan diri dengan buku pelajaran ponakanku yang sangat berubah. Tidak ada lagi buku IPA, IPS, dan sebagainya. Buku-buka telah berganti nama menjadi buku Tematik 1, 2, dan seterusnya (menurutku sih rempong, begitulah saat kebiasaan tiba-tiba berubah).
bundanya sematkan padaku (learn to be a mom menurutku). Setelah kurikulum 2013 berlaku, aku harus membiasakan diri dengan buku pelajaran ponakanku yang sangat berubah. Tidak ada lagi buku IPA, IPS, dan sebagainya. Buku-buka telah berganti nama menjadi buku Tematik 1, 2, dan seterusnya (menurutku sih rempong, begitulah saat kebiasaan tiba-tiba berubah).
PR
malam ini tentang tugas di rumah. Dede’ yang kelas 2 SD harus melist tugas
harian yang dikerjakan di rumah, termasuk tugas bapak, tugas ibu, tugas kakak,
dan tugas adik dikolom warna-warni yang telah disediakan. Maka terjadilah
percakapan berikut.
“Tan,
apa maksudnya tugas di rumah?” tanya ponakanku setelah menuliskan jawaban
beberapa pertanyaan dari bacaan yang disediakan.
“Apa
yang Dede’ kerjakan kalau di rumah? Misalnya setelah mandi pagi Dede’ ngapain?”
tanyaku balik.
“Ohh…
berarti siapkan baju kutulis disini, Tan?”
“Emang
siapa yang siapkan bajunya Dede’ tiap pagi?” tanyaku lagi.
“Ayah,”
jawabnya singkat.
“Berarti
Dede’ ndak bisa tulis karena bukan Dede’ yang kerja tugasnya tapi Ayah,”
ucapku.
“Tan,
kalau saya siapkan sekarang bisa saya tulis?” tanyanya lagi.
“Bisa,
tapi siapkan bajunya bukan cuma hari ini. Mulai hari ini, besok, dan seterusnya
tugas Dede’ menyiapkan seragam sekolah baru bisa ditulis.”
“Iye’ Tan,” ucapnya dengan anggukan pasti. Dia
pun berlari ke kamar menyiapkan seragamnya dan kembali ke meja menuliskan
tugasnya di poin satu.
Setelah
itu dia bertanya lagi.
“Tugas
berikutnya apa, tan?”
“Setelah
Dede’ pulang sekolah, Dede’ ngapain?” tanyaku balik.
“Buka
baju trus beresin.”
“Nah,
itu tugas yang kedua.”
“Apa
lagi yang sering Dede’ kerjakan?” tanyaku saat dia selesai menuliskan poin
kedua.
“Hmmmm…
merapikan mainan,” jawabnya dengan setengah berteriak. Untuk yang satu ini, aku
pun mengakui kemampuannya. Dibanding kakaknya yang lain, dia lebih bertanggung
jawab terhadap mainannya.
“Good,
tapi kok hot willsnya bertebaran dikamar bunda, yah?!”
Dede’
pun berlari dan merapikan semua mobil-mobil mini favoritnya yang jumlahnya
mencapai lima puluhan lebih. Setelah merapikannya, barulah dia menuliskan tugas
di poin ketiga.
“Masih
ada nggak yang biasa Dede’ kerjakan?”
“Sudah
tidak ada, Tan,” gumamnya setelah berpikir beberapa saat.
Ini
menjadi hal menarik bagiku. Anak ini tidak berusaha menuliskan tugas harian
yang tidak dilakukannya. Hal yang berbeda yang sering aku lakukan pada beberapa
kesempatan tes psikologi yang berkaitan dengan relationship dengan sesama teman kerja. Jika diperhadapkan dengan
pertanyaan seperti itu, maka aku akan mencari jawaban terbaik dari beberapa
pilihan jawaban yang mungkin tidak kulakukan jika berhadapan dengan kenyataan. Oh, mungkin inilah pendidikan karakter itu yang telah marak di
kembangkan di sekolah, pikirku.
Setelah
apa yang aku alami malam ini, aku berada pada sebuah kesimpulan bahwa
berhasilnya pendidikan karakter itu bergantung dari pembimbingan guru sekolah
dilanjut orang tua setelah anak kembali ke rumahnya. Menyelesaikan sebuah
masalah dalam hal ini tugas rumah anak bukan berarti harus dikerjakan
sesempurna mungkin tapi bagaimana membuat anak mengakui apa yang benar mereka
kerjakan dan pahami serta membuat mereka menyadari tentang sesuatu yang harus mereka lakukan
sebagai tanggung jawab.
Hm .. tinggal tunggu ada lelaki yang baik agamanya datang melamar ^__^
BalasHapusSy suka kurikulum 2013, melihat dari buku cetaknya Athifah yang juga kelas 2 SD. Rasanya lebih mudah seperti itu untuk anak2. Anak2 diajari konsep dan pemahaman dengan lebih sederhana.
Great, Ida.
Lanjutkan :))
Semoga segera kak Mugniar.
BalasHapusTerima kasih.
Kata mamaku yag guru SD, Kurikulum ini bagus tapi hanya bisa berhasil jika gurunya adalah guru pendidik, bukan guru pengajar
Aamiin...allahumma aamiin...
BalasHapusIyee terima kasih ;)
Hapus