Sudah pukul 9 malam. Tapi aku masih dipinggir jalan
menunggu angkot *Kalau di Makassar
namanya Pete-pete. Gak tau sih apa artinya heee... Jam 9 malam sebenarnya
belum terlalu malam untuk ukuran kota besar seperti Makassar. Namun bagi aku
itu sudah cukup malam untuk pulang ke rumah.
Aku ingat sekali saat tahun 2004
silam, saat pertama menjejakkan kaki di Makassar sebagai mahasiswa baru. Aku ngekos
bareng teman-teman di dekat kampus untuk memudahkan akses ke kampus. Dihari-hari
libur aku biasa berkunjung ke rumah om. Tanteku, istrinya om akan bertanya padaku setiap selesai salat Magrib,
“Kamu nginap atau tidak?”
“Tidak, Bu,” jawabku pada tante yang kupanggil Ibu.
“Kalau begitu kamu pulang sekarang,” katanya lagi
padaku.
Jangan salah paham! Ibu tidak mengusirku tapi
menyuruhku cepat pulang karena takut aku kenapa-kenapa jika pulang malam. Ibu
ngeri dengan tindakan asusila para supir pete-pete dan laki-laki tidak
bertanggung jawab pada penumpang perempuan seperti yang sering diberitakan TV.
Na’udzubillah min dzalik dan semoga tidak ada lagi perempuan yang mengalami
perlakuan bejat demikian.
Sampai sekarang, setelah 10 tahun, berada dipinggir
jalan menunggu pete-pete jam 9 malam cukup bikin hati was-was. Meskipun
terkadang jam 10 malam, aku masih di pete-pete pulang ke rumah.
“Cewek naik maki, langsungji jalan,” kata supir
pete-pete padaku.
Bukannya langsung naik, aku memilih mengamati si
supir pete-pete. Laki-laki umur 20an tahun, kulit hitam khas warna kulit orang Indonesia bagian timur, garis muka tegas, suara berat menambah kegarangannya. Setelah
bimbang beberapa saat, akhirnya aku naik juga ke pete-pete. Dengan mengucapkan
Bismillah aku bergabung dengan dengan dua penumpang lain.
Ketika melintas di perempatan jalan, lampu merah traffic light menyala. Pete-pete
berhenti tepat di sebelah mobil grand
livina. Dari kursi penumpang aku melihat si supir garang itu melambaikan
tangan ke arah mobil grand livina itu.
Karena penasaran kepada penerima lambaian tangan supir, aku mengalihkan
pandangan ke mobil di sebelah pete-pete. Ternyata penerima lambaian tangan itu
adalah anak kecil yang sedang terkekeh kekeh bermain ‘cilukba’ dengan si supir
garang itu.
Kegarangan supir pete-pete berubah di kepalaku. Bagiku
adalah hal luar biasa ketika seorang mampu mengambil hati seorang anak kecil.
Heeee… so don’t judge by a cover.
Muka garang bukan berarti hati tidak bisa pink kan? Hahahaha…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar