Pulang kampung…
pulang kampung…
Kali
ini aku akan bercerita tentang serba-serbi mudik, On The Way Home, ala Ida Basarang.
Seminggu
lagi Ramadan berakhir. Berarti saatnya prepare
meninggalkan Makassar. Kembali ke kampung halaman menyambut 1 Syawal atau lebih
kerennya lebaran. Sejenak meninggalkan hiruk pikuk Makassar untuk berkumpul
bersama keluarga didinginnya kaki Gunung Latimojong di Enrekang. Cuma
membayangkan saja sudah tidak terperikan bahagianya. Perjuangan untuk bisa
menjejakkan kaki di tanah kelahiran diabaikan saja.
Sebelum
pulang kampung, hal wajib yang dilakukan adalah mencarikan mama barang-barang
pesanannya. Bukannya barang-barang itu tidak ada di kampung, namun perbedaan
harga yang mencolok menjadi alasan mama untuk memesan barang-barang di
Makassar. Dari satu toko ke toko lain, dari satu supermarket ke supermarket
lain, dari satu pusat grosir ke pusat grosir lain, dari mall satu ke mall lain
demi mendapatkan barang-barang buruan. Menjelajahi tempat-tempat itu menjelang
lebaran dalam keadaan puasa bukanlah hal yang mudah. Berdesak-desakan dengan
para pemburu barang-barang kebutuhan lebaran tidak bisa dihindari.
Pesanan
mama done. Saatnya menelpon kembali
supir mobil yang akan mengantarkan aku ke rumah. Dimusim mudik seperti ini
memesan mobil itu baiknya seminggu sebelum kepulangan. Karena seminggu sebelum
lebaran seperti ini hampir semua mobil penumpang sudah full. Nah, jika tidak
mendapatkan mobil untuk pulang bagaimana caranya sampai ke Enrekang? Cukup ke
terminal Regional Daya, di sana banyak bus menuju ke Tana Toraja. Bus ini akan
melintasi Enrekang kota, Kecamatan Anggeraja dan Kecamatan Alla. Segi
negatifnya menggunakan bus ini, kita harus mengeluarkan biaya ekstra. Jika
biasanya untuk sampai ke rumah cukup membayar Rp. 70.000,- kita harus
mengeluarkan Rp. 100.000,- ditambah biaya tambahan alat transportasi lain
seperti ojek jika kampung yang dituju jauh dari jalur bus itu. Dan segi
positifnya, duduk menjadi lebih nyaman tanpa harus berdesakan dengan penumpang
lain seperti kebanyakan mobil kijang yang dipakai sampai ke pelosok-pelosok
desa.
“Halo,
om, besok aku dijemputkan?” tanyaku sama supir mobil langgananku melalui
telepon.
“Ohh,
iya. Besok jam 3 yah?! Jawab si om supir.
Masih
jam 12 malam saat barang-barang sudah dipak, pakaian-pakaian telah dimasukkan
ke ransel, berarti masih ada waktu 3 jam sebelum dijemput. Masih ada waktu
untuk tidur.
Belum
jam 3 si om supir sudah nelpon.
“30
menit lagi om sampai disitu, bisa siap dan sahur dalam waktu itu kan?” tanya si
om supir.
“Iya,
om, bisa.”
Klakson
mobil berbunyi, sebagai tanda saatnya dijemput. 2 dus barang-barang, 1 tas
pakaian, 1 tas jinjing, dan 1 ransel memksa supir memutar otak bagaimana semua
barang-barang itu bisa masuk di bagasi. Bagaimana tidak, belum lagi
barang-barangku masuk, bagasi sudah hampir penuh. Barang-barang penumpang lain
yang belum dijemput. Koper-koper dan kardus-kardus yang sudah tersusun rapi
dikeluarkan lagi. Disusun ulang berdasarkan ukurannya. Koper dan kardus paling
besar diletakkan paling bawah. Sela-sela koper dan kardus diisi barang-barang
yang lebih kecil. Prinsipnya adalah muat tidak muat harus muat, dipaksa muat
tepatnya. Butuh keahlian khusus untuk menyusun barang-barang ini.
Di
barisan depan sudah diisi 3 orang penumpang, seorang ibu dengan dua orang anaknya. Di baris
kedua kursi penumpang tak kalah sesak. Aku bersama 3 orang dewasa lainnya dan
seorang bayi yang dipangku ibu muda tepat disebelahku. Di barisan belakang pun
sama, 4 orang penumpang dewasa dan seorang anak kecil di pangkuan bapaknya. Seperti
menyusun barang muat tidak muat harus muat. Kondisi yang sangat berat untuk
perjalanan 350 km lebih selama 7 jam. Duduk dengan posisi yang sama
terus-menerus, bisa dibayangkan bagaiman tersiksanya. Beberapa penumpang
berkeluh kesah namun tidak banyak yang tetap menikmati tidur dengan tenang. Tapi
inilah perjuangan, serba-serbi mudik, on
the way home.
Pulang
kampung dihari biasa, dijemput subuh seperti ini masih harus transit (ciee
transit…) di terminal sebelum akhirnya meninggalkan Makassar. Pada hari biasa
seperti ini penumpang sangat jarang sehingga harus menunggu penumpang lain di terminal.
Kadang-kadang meninggalkan Makassar pukul 9 pagi. Tapi menjelang lebaran
begini, saat penumpang membludak, kita meninggalkan Makassar paling lambat jam
4 pagi. Berangkat sepagi itu, shalat subuhnya singgah di masjid Pangkep. Meninggalkan
Makassar dipagi buta mobil tidak terjebak macet di jalan. Sehingga waktu tempuh
menjadi lebih singkat. Pangkep yang biasa dijangkau setelah 120 menit
perjalanan menjadi 90 menit.
Hawa
dingin membangunkan aku dari tidur yang tetap nikmat sekalipun kaki dan bokong
kesemutan. Hawa dingin ini menandakan mobil telah bergerak melewati Enrekang
kota. Sekitar sejam lagi perjalanan menuju rumah.
I’m home.
Kegiatan membongkar barang di bagasi ternyata pun tidak mudah. Penumpang yang
turunnya satu persatu tergantung tujuan masih harus menyita waktu supir
menurunkan barang-barang. Kadang penumpang yang pertama turun tapi barangnya
disusun paling bawah. Tidak jarang barang yang telah dibongkar kemudian disusun
kembali menjadi tidak muat di bagasi hanya karena letaknya telah berubah. Tapi inilah
serba-serbi mudik, apapun kondisinya harus tetap diupayakan untuk dinikmati tidak
usah dikeluh kesahkan. Menikmati masa-masa sulit sedikit banyak akan
meringankan penderitaan. Jika ada umur panjang tahun depan penderitaan ini akan aku nikmati lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar