Sabtu, 27 Februari 2016

Boleh Percaya, Boleh juga Tidak



Mungkin karena masalah gengsi (malu dikeluarkaan dari grup hanya karena tidak menyetor tulisan yang sudah dua minggu menjadi pekerjaan rumah) akhirnya kembali ke laptop. Melanjutkan tulisan yang tidak bisa kelar. Bagaimana bisa kelar jika hanya menuliskan judul, simpan dan ditinggalkan lagi. Tenggang waktunya tersisa 32 jam. Setelah itu kick out. Menakutkan bukan ancamannya? Eh gengsi juga sih hehehe…


Dalam 32 jam ini saya harus menyelesaikan dua tulisan. Tulisan dengan tema traveling dan reportase. Sanggupkah? Harus sanggup demi gengsi (hohoho…). Nah bagaimana menyelesaikan dua tulisan itu? Caranya cuma ada satu, mulailah menulis. Tapi… Stop kata tapi dong, saya kembali bermonolog di depan laptop. Mari kita coba untuk memulai.

Traveling tak melulu tentang perjalanan ke kota lain atau berkunjung ke negara tetangga, iya kan? Hal ini yang saya yakini. Demi mendapat penguatan akan pendapat ini, saya pun akhirnya bertanya ke teman-teman. Sekalipun hanya satu yang mengiyakan, saya tetap bertahan dengan pendapat ini. Jika traveling diibaratkan perjalanan meninggalkan daerah sendiri maka apa yang bisa saya ceritakan? Sampai umur segini saya baru dua kali meninggalkan Sulawesi Selatan. Jika diibaratkan, saya seperti katak dalam tempurung.

Traveling  adalah perpindahan dari satu titik ke titik yang lain. Pada perpindahan itu tak jarang kita menemukan kisah yang menjadi pembelajaran. Berjalan dari rumah ke sekolah, ke kampus, ke kantor atau ke pasar sekalipun pun termasuk traveling. Namun perjalanan itu lebih sering dianggap rutinitas saja, tidak ada jejak istimewa yang membekas. Lebih lagi yang menggunakan kendaraan umum (kali ini bercerita tentang diri sendiri hehehe…). Setelah duduk dengan nyaman di atas angkot, smartphone dengan segala macam aplikasinya lebih menyita perhatian. Tenggelam dalam kesibukan jari jemari berselancar di dunia maya. Padahal dalam perjalanan itu mungkin saja ada kejadian yang bisa diambil sebagai pelajaran sehingga traveling ini tak sekedar rutinitas harian.  

***

“Kak bisa ki temani ka antar surat?” tanya seorang teman mengajar di Jumat pagi itu.
“Penempatan di mana kah?” saya kembali bertanya tanpa mengiyakan atau menolak permintaannya. Awal 2014 kami saling mengenal, saat pertama kali mengajar di kampus. Dia dosen yang cerdas, tekun dan berwirausahanya jago. Karena sering pulang bersama, atau mungkin karena pemikiran kami sejalan, kami menjadi dekat. Saya tidak segan meminta tolong, dia pun sebaliknya pada saya. Qadri. Begitulah saya sering memanggil namanya.
“Kaluku Bodoa kak, sama Bira,” jawabnya.
“Aduh, dimanami itu? Tapi ayomi. Kan adaji google maps toh?” tantang saya.

Dengan informasi seadanya dan mengandalkan aplikasi google maps, kami bergerak meninggalkan kampus di jalan Tupai kemudian berbelok ke kanan menuju jalan Veteran Selatan. Sekitar 20 menit waktu tempuh untuk melintasi jalan Veteran Selatan – Veteran Utara kemudian berbelok ke kanan di jalan Masjid Raya. Sejauh ini masih aman. Jalur yang dilalui masih sesuai petunjuk dari kantor dan maps. Setelah berbelok ke kiri di jalan Sunu, kami hanya perlu berjalan lurus sampai lampu lalu lintas di pertigaan jalan Sunu dan jalan Teuku Umar. Di pertigaan ini kami berbelok ke kiri dan kembali berbelok ke kanan di jalan Galangan Kapal. Sepanjang jalan Galangan Kapal dada kami berdebar-debar. Jalanan ini menjadi lebih sepi dibandingkan jalan Sunu sementara cuma kami, dua orang perempuan di dalam kendaraan.

“Bagaimana mi kak? saya lupa petunjuknya di mana ki lagi belok,” ujar Qadri dengan penuh kecemasan.
“Bismillah, kita andalkan maps saja, jalan terus mi” saya kembali menantangnya.
Dengan mengikuti jalur pada google maps akhirnya tibalah kami di Puskesmas Kaluku Bodoa di jalan Kelurahan. Jalan yang ditemui setelah berbelok ke kanan dari Galangan Kapal.  

Ini adalah kali pertama kami diberi tanggung jawab sebagai pendamping lahan untuk mahasiswa yang memprogramkan PKL atau Praktek Kerja Lapangan di puskesmas. Sebagai pendamping lahan, kami harus mengantarkan surat ke Puskesmas tempat kami ditugaskan. Setelah menerima surat dan menyatakan kesiapan menerima mahasiswa PKL, puskemas akan menjelaskan ketentuan-ketentuan yang harus disiapkan mahasiswa.

Setelah menyelesaikan urusan di Puskesmas kaluku Bodoa, kami melanjutkan perjalanan mencari Puskesmas Bira. Kali ini dengan modal nekat berlipat dua kali. Jika perjalanan sebelumnya menemukan Puskesmas Kaluku Bodoa mendapat penjelasan dan petunjuk dari google maps dari kantor kali ini hanya mengandalkan aplikasi google maps di smartphone.

“Kalau melihat maps puskesmasnya sebelum Japfa (pabrik pakan ternak), kalau Japfa sih saya tahu ji,” saya mencoba menerka letak puskesmas sambil memperhatikan maps. Di maps menunjukkan puskesmas terletak sebelum Japfa dari arah Maros.
“Jadi gimana kak? Masuk ka di tol Sutami berarti?” tanya Qadri sambil fokus mengemudikan kendaraan.
Iye’, jalan mi terus sampai ujung tol, perempatan menuju bandara.”

Akhirnya debar di dada semakin menjadi, letak puskesmas di maps tidak sesuai kenyataan. Dalam kebingungan, Qadri menyarankan untuk bertanya. Dan betul saja kami harus memutar kembali untuk menemukan Puskesmas Bira sesuai petunjuk seorang ibu penjaga warung. 


“Jalan terus mi ki, nanti di terowongan ke tiga belok kanan ki. Dari situ terus-terus mi ki 1 kilo mami itu kita dapat mi,” jawab seorang warga ketika saya bertanya letak Puskesmas Bira untuk kesekian kalinya pada warga yang kami temui di pinggir jalan. Setelah dua kali melintasi jl. Dr. Ir. Sutami di kanan-kiri jalan tol, akhirnya kami berdiri di halaman Puskesmas Bira. Sayangnya puskemas berwarna biru itu  menyambut kami dengan pintu tertutup. Semua pegawai telah pulang karena jam telah menunjukkan pukul 13.30 WITA.


“Mudah-mudahan kudapat ji lagi ini puskesmas kalau datang ka antar surat hari Senin,” ujar Qadri.

Mungkin smartphone canggih bisa menuntun kemana pun kaki ingin melangkah. Boleh percaya padanya, boleh juga tidak. Teruslah berjalan, jangan takut tersesat. Karena Allah menganugerahimu mulut. Jangan malu bertanya agar kamu dan mereka tahu, kita masihlah makhluk sosial yang saling membutuhkan.

Sabtu, 27 Februari 2016

4 komentar:

  1. Kalo daerah sana (tol Sutami), menyerah ka' :)))
    Untung ada mi Google Maps di', jadi didapat ji.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yang pertama didapatji kak, yang kedua ji itu tidak karena tidak sesuai yang di maps

      Hapus
  2. Ceritanya menarik. Perjalanan bisa membawa kita pada kisah seru.

    BalasHapus
  3. Malu bertanya sesat di jalan. Banyak bertanya nggak jalan-jalan. #eh

    Google maps kadang ampuh kadang membingungkan. hoho.

    BalasHapus