Kamis, 01 Januari 2015

Terbang dalam Ketakutan



Penghujung tahun 2014 menjadi akhir tahun yang memilukan bagi Bangsa Indonesia secara umum terkhusus keluarga korban. Maskapai penerbangan Air Asia A320 dengan nomor penerbangan QZ8501 menghilang dari radar di hari minggu pagi 28 Desember 2014. Pesawat yang berangkat dari Surabaya menuju Singapura sampai hari ini belum ditemukan. Namun pencarian menemui titik
terang ketika tanggal 30 Desember ditemukan serpihan-serpihan dari pesawat yang hilang dan 7 mayat yang mengapung di laut.

Membayangkan kepanikan dan ketakutan penumpang pesawat itu sebelum jatuh membuat saya bergidik. Terikan-teriakan minta tolong dan doa-doa dipanjatkan membuat kondisi semakin mencekam menari-nari di kepala. Saya pernah berada pada kondisi yang kurang lebih sama. Kondisi yang menggambarkan kepanikan dan ketakutan. Teriakan-teriakan minta tolong, doa-doa yang dirapalkan, bahkan langkah-langkah cepat tepatnya lari di lorong pesawat. Sebuah pengalaman luar biasa di penerbangan pertama.

Sesuai jadwal penerbangan yang tertera di tiket, hari itu saya bersama seorang teman sejam lebih cepat menuju bandara. Kami akan menghadiri To 8th national Congress of Indonesian Society for Clinical Microbiology. Karena ini adalah pengalaman pertama saya naik pesawat, kakak mempercayakan seorang kawannya di bandara untuk membantu saya mulai check in sampai naik ke pesawat. Saya terus berzikir sebagai penawar rasa nano-nano di dalam hati. Saat itu telah musim hujan. Perjalanan dari rumah ke bandara juga ditemani derai hujan. Cuaca ini lah yang melengkapi rasa yang bercampur aduk.

Bismillah mengiringi langkah kaki kanan saya menaiki anak tangga pertama pesawat. Tak lupa doa keselamatan sampai tujuan dan kembali ke Makassar dalam kondisi baik-baik saja. Tempat duduk kami agak di belakang, baris ke lima dari belakang. Saya duduk tepat di sisi jendela. Setelah memastikan telepon genggam dan gadget mati, saya memasang sabuk pengaman sesuai arahan pramugari.

Melihat teman saya yang sangat panik (ini juga merupakan pengalaman pertamanya), saya berusaha untuk setenang mungkin dan meyakinkannya bahwa semuanya baik-baik saja. Tapi tidak bisa saya pungkiri debaran jantung semakin berpacu setelah pesawat mulai bergerak. Zikir pun semakin menderas berlomba dengan detak jantung. Pesawat take off.

Saya melihat keluar jendela, rumah-rumah semakin mengecil dan akhirnya menghilang tertututup awan. Sesekali saya melirik teman saya, mulutnya pun tidak henti berkomat-kamit. Mukanya sedikit pucat. Kelegaan itu jelas terlihat di mukanya dan saya rasakan saat terdengar pemberitahuan pesawat sudah berada pada ketinggian 32000 kaki. Setiap penumpang boleh membuka sabuk pengaman, atau meninggalkan tempat duduknya untuk ke kamar kecil.

Sabuk pengaman yang membelit sejak naik pesawat saya lepaskan. Majalah di kantong kursi depan saya ambil. Majalah yang berisi daerah-daerah tujuan wisata di Indonesia. Saat menikmati pesona wisata Indonesia tiba-tiba beberapa orang ibu berlari dari arah belakang kursi kami kearah tengah pesawat melintasi kursi kami.

“Ada api, kebakaran.” teriak mereka.
“Kebakaran… kebakaran…”
Penumpang yang kaget berdiri dari kursinya. Beberapa berteriak minta tolong, beberapa pun berlari menjauh. Saya pun sontak berdiri tapi agak sedikit tertarik karena teman mencengkram lengan saya dengan keras.

Saya berdiri dan berbalik mencari sumber api. Api itu sangat dekat dengan kami. Tas jinjing seorang penumpang yang mungkin telah berumur 60an tahun terbakar. Dari pakaian dan caranya berbicara bisa dipastikan bapak itu adalah orang Bali. Bapak ini duduk dibelakang kursi diseberang kami. Tas itu dipangkunya saat api berkobar, mukanya menjadi pucat tapi tidak bisa berbuat apapun.

Kematian itu begitu dekat, mungkin inilah akhir umur saya. Ajal saya melayang diatas pesawat yang melayang di ketinggian 32000 kaki. Begitulah pikiran yang hadir dikepala saya. Melihat api itu yang terbayang adalah pesawat ini akan meledak.

Seorang pramugara dengan cekatan menyemprotkan cairan pemadam kebakaran kearah api. Tapi penumpang yang telah panik dan takut masih riuh membicarakan api itu berasal dari mana. Berbagai spekulasi muncul. Ada yang mengatakan api bersumber dari cangklong si bapak di dalam tas. Ada juga yang mengatakan dupa. Juga ada yang berpendapat cairan yang mudah meledak. Penyebab terbakarnya tas tidak terungkap karena bapak pemilik tas diamankan ke bagian belakang pesawat.

Sejak kejadian itu, dada saya makin bergemuruh. Benar-benar penerbangan dalam ketakutan. Harapan saya pesawat cepat mendarat. Tapi pendaratan pun tidak semulus harapan kami. Pesawat mendarat seperti dihempaskan begitu saja ke landasan. Goncangan hebat menyambut saya menjejakkan kaki di bandara Ngurah Rai.
“Saya sudah ribuan kali naik pesawat, tapi baru kali ini saya merasakan pendaratan yang sangat buruk,” ujar seorang bule disamping kursi kami.

Alhamdulillah terucap begitu keluar pesawat dan menghirup udara Bali. Sedekat apapun kematian itu ketika Allah belum berkehendak, nafas akan terus melekat pada raga. Kembali saya bergidik memikirkan kondisi di atas pesawat Air Asia QZ 8501 sejenak sebelum jatuh. Semoga semua yang tergabung dalam tim penyelamat diberi kesehatan dan kekuatan untuk segera menemukan penumpang dan para awak. (Muj)

2 komentar:

  1. Yaa,, intensitas rapalan doa dan zikir seperyinya bertambah bila menaiki pesawat dan berkurang bahkan bagi saya lebih sering stop mendadak setelah tiba dengan selamat padahal sejatinya resiko kematian meng7ntai setiap saat,,, thank you say, jadi menengok ke diri sendiri :)

    BalasHapus
  2. Iye kak doa dan dzikir jadi lebih sering ketika takut akan mati padahal harusnya setiap saat karena mati itu dimana dan kapanpun bisa jika sudah tiba dipenghujung ajal

    BalasHapus