Minggu, 10 Agustus 2014

On The Way Home


Pulang kampung… pulang kampung…
Kali ini aku akan bercerita tentang serba-serbi mudik, On The Way Home, ala Ida Basarang.

Seminggu lagi Ramadan berakhir. Berarti saatnya prepare meninggalkan Makassar. Kembali ke kampung halaman menyambut 1 Syawal atau lebih kerennya lebaran. Sejenak meninggalkan hiruk pikuk Makassar untuk berkumpul bersama keluarga didinginnya kaki Gunung Latimojong di Enrekang. Cuma membayangkan saja sudah tidak terperikan bahagianya. Perjuangan untuk bisa menjejakkan kaki di tanah kelahiran diabaikan saja.

Sebelum pulang kampung, hal wajib yang dilakukan adalah mencarikan mama barang-barang pesanannya. Bukannya barang-barang itu tidak ada di kampung, namun perbedaan harga yang mencolok menjadi alasan mama untuk memesan barang-barang di Makassar. Dari satu toko ke toko lain, dari satu supermarket ke supermarket lain, dari satu pusat grosir ke pusat grosir lain, dari mall satu ke mall lain demi mendapatkan barang-barang buruan. Menjelajahi tempat-tempat itu menjelang lebaran dalam keadaan puasa bukanlah hal yang mudah. Berdesak-desakan dengan para pemburu barang-barang kebutuhan lebaran tidak bisa dihindari.

Pesanan mama done. Saatnya menelpon kembali supir mobil yang akan mengantarkan aku ke rumah. Dimusim mudik seperti ini memesan mobil itu baiknya seminggu sebelum kepulangan. Karena seminggu sebelum lebaran seperti ini hampir semua mobil penumpang sudah full. Nah, jika tidak mendapatkan mobil untuk pulang bagaimana caranya sampai ke Enrekang? Cukup ke terminal Regional Daya, di sana banyak bus menuju ke Tana Toraja. Bus ini akan melintasi Enrekang kota, Kecamatan Anggeraja dan Kecamatan Alla. Segi negatifnya menggunakan bus ini, kita harus mengeluarkan biaya ekstra. Jika biasanya untuk sampai ke rumah cukup membayar Rp. 70.000,- kita harus mengeluarkan Rp. 100.000,- ditambah biaya tambahan alat transportasi lain seperti ojek jika kampung yang dituju jauh dari jalur bus itu. Dan segi positifnya, duduk menjadi lebih nyaman tanpa harus berdesakan dengan penumpang lain seperti kebanyakan mobil kijang yang dipakai sampai ke pelosok-pelosok desa.
“Halo, om, besok aku dijemputkan?” tanyaku sama supir mobil langgananku melalui telepon.
“Ohh, iya. Besok jam 3 yah?! Jawab si om supir.
Masih jam 12 malam saat barang-barang sudah dipak, pakaian-pakaian telah dimasukkan ke ransel, berarti masih ada waktu 3 jam sebelum dijemput. Masih ada waktu untuk tidur.
           
Belum jam 3 si om supir sudah nelpon.
“30 menit lagi om sampai disitu, bisa siap dan sahur dalam waktu itu kan?” tanya si om supir.
“Iya, om, bisa.”

Piip… piip..
Klakson mobil berbunyi, sebagai tanda saatnya dijemput. 2 dus barang-barang, 1 tas pakaian, 1 tas jinjing, dan 1 ransel memksa supir memutar otak bagaimana semua barang-barang itu bisa masuk di bagasi. Bagaimana tidak, belum lagi barang-barangku masuk, bagasi sudah hampir penuh. Barang-barang penumpang lain yang belum dijemput. Koper-koper dan kardus-kardus yang sudah tersusun rapi dikeluarkan lagi. Disusun ulang berdasarkan ukurannya. Koper dan kardus paling besar diletakkan paling bawah. Sela-sela koper dan kardus diisi barang-barang yang lebih kecil. Prinsipnya adalah muat tidak muat harus muat, dipaksa muat tepatnya. Butuh keahlian khusus untuk menyusun barang-barang ini.

Di barisan depan sudah diisi 3 orang penumpang,  seorang ibu dengan dua orang anaknya. Di baris kedua kursi penumpang tak kalah sesak. Aku bersama 3 orang dewasa lainnya dan seorang bayi yang dipangku ibu muda tepat disebelahku. Di barisan belakang pun sama, 4 orang penumpang dewasa dan seorang anak kecil di pangkuan bapaknya. Seperti menyusun barang muat tidak muat harus muat. Kondisi yang sangat berat untuk perjalanan 350 km lebih selama 7 jam. Duduk dengan posisi yang sama terus-menerus, bisa dibayangkan bagaiman tersiksanya. Beberapa penumpang berkeluh kesah namun tidak banyak yang tetap menikmati tidur dengan tenang. Tapi inilah perjuangan, serba-serbi mudik, on the way home.

Pulang kampung dihari biasa, dijemput subuh seperti ini masih harus transit (ciee transit…) di terminal sebelum akhirnya meninggalkan Makassar. Pada hari biasa seperti ini penumpang sangat jarang sehingga harus menunggu penumpang lain di terminal. Kadang-kadang meninggalkan Makassar pukul 9 pagi. Tapi menjelang lebaran begini, saat penumpang membludak, kita meninggalkan Makassar paling lambat jam 4 pagi. Berangkat sepagi itu, shalat subuhnya singgah di masjid Pangkep. Meninggalkan Makassar dipagi buta mobil tidak terjebak macet di jalan. Sehingga waktu tempuh menjadi lebih singkat. Pangkep yang biasa dijangkau setelah 120 menit perjalanan menjadi 90 menit.

Hawa dingin membangunkan aku dari tidur yang tetap nikmat sekalipun kaki dan bokong kesemutan. Hawa dingin ini menandakan mobil telah bergerak melewati Enrekang kota. Sekitar sejam lagi perjalanan menuju rumah.




I’m home. Kegiatan membongkar barang di bagasi ternyata pun tidak mudah. Penumpang yang turunnya satu persatu tergantung tujuan masih harus menyita waktu supir menurunkan barang-barang. Kadang penumpang yang pertama turun tapi barangnya disusun paling bawah. Tidak jarang barang yang telah dibongkar kemudian disusun kembali menjadi tidak muat di bagasi hanya karena letaknya telah berubah. Tapi inilah serba-serbi mudik, apapun kondisinya harus tetap diupayakan untuk dinikmati tidak usah dikeluh kesahkan. Menikmati masa-masa sulit sedikit banyak akan meringankan penderitaan. Jika ada umur panjang tahun depan penderitaan ini akan aku nikmati lagi.