Jumat, 31 Oktober 2014

Yang Spesial



“Bun, aku minta uang 25 ribu,” pinta Dede’ pada Bundanya yang sudah siap berangkat ke kantor.
“Kok banyak banget?” tanya Bunda yang heran uang jajan dinaikkan 150% dari biasanya.
“Hari ini kan market day, Bun. Ibu Guru bilang bawa uang jajan lebih,” rengek Dede lagi.
Market day merupakan program rutin sekolah Dede’,salah satu Sekolah Islam Terpadu di Makassar dengan tujuan memacu semangat wirausaha siswa-siawanya.

Kamis, 30 Oktober 2014

Ayamku Malang, Ayamku Enak

Membaca cerita-cerita ayam Atifah aku teringat pada ayamku saat duduk dibangku kelas 3 SD. Burik, panggilanku untuknya. Ayam itu adalah ayam pertama dan terakhir aku pelihara. Mungkin
karena trauma, setelah Burik aku tidak pernah lagi memelihara ayam. Burik itu ayam betina pemberian nenek untukku. Aku telah membuat rencana matang, memelihara Burik sampai beranak pinak dan menjualnya untuk uang jajan.

Inikah Pendidikan Karakter itu?



Menemani ponakanku, Dede’, panggilan akrabnya karena dia bungsu, mengerjakan pekerjaan rumah alias PR telah menjadi tugasku saat bundanya belum pulang dari kantor. Ibu pengganti, kadang

Rabu, 29 Oktober 2014

Melacak HP Android yang Hilang



Dizaman yang serba susah ini, sebagian orang menghalalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Salah satunya mencuri. Sehingga memiliki barang mewah harus diiringi tingkat
kewaspadaan tinggi. Lengah sedikit kita bisa kehilangan. Jangankan barang mewah, asalkan bisa ditukar dengan rupiah barang apapun akan diembat oleh mereka yang tidak bertaggung jawab. 

Jumat, 24 Oktober 2014

KADANTA' RA NA DEN TAU



Sampai hari ini bergabung di komunitas IIDN Makassar masih menjadi kebanggaan. Beberapa kali aku mengikuti even besar karena seat khusus yang disiapkan untuk para beberapa orang anggota IIDN. Belum lagi even-even lain bukan hanya berskala Makassar saja, tapi berskala nasional bahkan internasional selalu saja menyiapkan undangan khusus untuk komunitas ini. Kurang keren apa coba IIDN ini?

By the way... Apa sih IIDN itu? IIDN merupakan singkatan dari Ibu-Ibu Doyan Nulis. Merupakan komunitas yang didirikan oleh Ibu Indari Mastuti pada tanggal 20 Mei 2010 yang dilatarbelakangi keinginan untuk meningkatkan produktivitas para ibu di berbagai hal khususnya MENULIS. IIDN didirikan dengan visi mencerdaskan perempuan Indonesia dan beberapa misi, sebagai berikut:
1.Menerbitkan minimal 1 buku untuk setiap anggota IIDN
2.Meningkatkan produktifitas anggota di berbagai media di Indonesia
3.Meningkatkan kemampuan anggota dalam bidang penulisan
4.Mempererat kolaborasi positif antar anggota di berbagai bidang

Anggota komunitas ini menembus angka 10 ribu lebih yang tersebar di 23 wilayah di Indonesia (salah satunya Makassar) dan beberapa negara dunia (Amerika, Australia, Eropa, Malaysia, Singapura, Hongkong, Brunei Darussalam, Jepang, Korea dan Timur Tengah).
Sekalipun komunitas ini didominasi para ibu rumah tangga, namun banyak pula anggota yang berasal dari kalangan calon ibu dan para gadis (Ehem… ehem… ngintip bayangan di cermin, eh aku yah? Promosi dikit hahaha…).

Bergaul dengan ibu–ibu produktif ini terkadang menimbulkan iri dalam diri. Bagaimana tidak? Aku yang berstatus single, kerjaan yang tidak sibuk–sibuk amat, namun sangat minim karya bahkan menyebutnya karya pun aku malu, tulisan yang tidak seberapa memenuhi blogku sekedar curhat–curhat tidak penting. Namun tetap ada pengharapan tulisan tidak penting itu menjadi cikal bakal lahirnya 1 buku sesuai misi dari IIDN.

Kembali pada istimewanya IIDN…

Kali ini ada undangan menghadiri Opening Ceremony Anniversary Trans Studio Mall yang bertajuk Connected disampaikan kak Mugniar (Korwil IIDN Makassar) di grup facebook. Begitulah cara kami berinteraksi. Berbagi keintiman di facebook dan sesekali kopi darat menimbulkan kepemilikan akan komunitas dan kebersamaan hangat.

Setelah memposting undangan itu, beberapa komentar bermunculan. Ada yang harus menelan kekecewaan tidak bisa turut serta karena bertepatan dengan acara lain. Ada pula yang dengan senangnya mendaftarkan diri untuk memenuhi undangan. Ada pula yang membatalkan kehadiran karena beberapa alasan.

Tanggal 27 September acara itu dilaksanakan yang bertepatan dengan jadwalku membimbing praktikum. Dimana ada kemauan disitu pasti ada jalan, pikirku. Akhirnya setelah mengkoordinasikan jadwal dengan ketua tingkat kelas yang akan aku bimbing pagi itu, ternyata jadwalku bisa dimajukan dan berakhir pukul 13.00. Berarti tersisa 1 jam sebelum acara di mulai. Setelah menimbang–nimbang, akhirnya aku menjadi salah satu  anggota yang mendaftarkan diri menjadi undangan. 

Mendaftarkan diri untuk acara-acara yang menyiapkan kursi khusus untuk anggota IIDN terkadang dibatasi untuk beberapa orang saja. Sehingga untuk mendaftarkan diri harus benar-benar disesuaikan kesanggupan untuk menghadiri. Ketidakhadiran sama dengan merugikan anggota lain yang mungkin ingin mengikuti acara yang sama namun terkendala jumlah undangan yang disiapkan penyelenggara.

Tibalah pada hari sabtu tanggal 27 September 2014. Rencana itu selalu mantap pada proses perencanaannya, namun tidak jarang menjadi kacau pada proses eksekusinya. Jadwal yang sudah apik kususun menjadi tidak ada gunanya saat laboratorium digunakan kelas lain. Hal lain yang tidak kuperhitungkan karena aku berpikir laboratorium di awal perkuliahan masih sangat jarang digunakan.

Pukul 14:30 kelasku berakhir yang juga berarti opening ceremonynya telah berlalu 30 menit. Aku berada pada kebimbangan antara pergi dengan tidak. Memilih pergi berarti kemungkinan sampai di lokasi setelah acara selesai mengingat perjalanan yang lumayan jauh. Ditambah aku yang angkoter (kerenkan? keren yah heehehehe...) sejati harus berkali – kali berganti angkot yang sumpah ngetemnya itu membuat sewot kumat.
“Kadanta ran a den tau, teringat Mama yang sering melontarkan satu kalimat yang sering dianggap sebagai kadanna to jolonta (Perkataan orang-orang pendahulu kita) untuk kami yang tinggal di daerah Duri Enrekang. Arti kalimat itu kurang lebih seperti ini, “Kata–kata kitalah maka kita menjadi orang.” 
Okeh, apapun yang terjadi aku harus pergi. Kalimat itu sering terngiang saat aku hendak membatalkan sepihak janji yang telah terucap. Ehhh…bukan asal membatalkan yah, tapi saat berhadapan dengan kondisi – kondisi yang memaksa memili do or not.

Setelah berbincang dengan kak Mugniar lewat telepon, akhirnya aku semakin yakin untuk tetap menuju lokasi dengan resiko acara telah bubar. Dan benar saja, aku tiba saat pementasan terakhir. Sebuah Stand Up Commedy yang pun tidak kusaksikan, karena aku tidak tahu itulah acara yang aku tuju.
“Mas, acara opening ceremony TSM dimana yah?” tanyaku.
“Ohhh, didalam sana mungkin mba,” jawabnya.

Aku terus berjalan, masuk lebih dalam ke Mall Trans Studio berdasarkan petunjuk seorang pelayan resto yang tengah asyik menonton stand up comedy. Setelah bertelepon dengan kak Mugniar dan kak Abby Onety, acara yang sempat kusaksikan sekilas tadi adalah rangkaian acara yang ingin kuikuti.
Tapi aku masih bersyukur masih sempat melepas kangen dengan Ibu – Ibu hebat ini di parkiran mall. Dan ini pun menjadi pengalaman pertamaku ke TSM menggunakan angkot. Dan ini pun menjadi pengalaman pertama naik BRT di Makassar setelah kehadirannya meramaikan jagad transportasi Makassar. (Muj)


Makassar, 27 September 2014

Sabtu, 11 Oktober 2014

MENITI JURANG KELARA



Telah seminggu berlalu saat tante mengkonfirmasi kesediaanku turut serta dalam perjalanan menuju kampung suaminya (berarti omku kan? Heeee…). Karena permintaan mama dan memang aku yang ingin pergi so aku oke-oke sajalah.

Rabu sore selepas ashar kita berangkat.
Kubaca lagi pesan yang dikirimkan tante kemarin malam. Dan masih sejam lagi sebelum waktu itu tiba. Karena sejak pagi tidak ada kabar, aku menelepon tante untuk memastikan. Benar, manusia punya rencana tapi hanya Allah yang mampu mengeksekusi rencana itu. Ya atau tidaknya bergantung hak perogratif Allah. Sejak siang sepulang dari sekolah, tante yang seorang guru sekolah dasar, terserang diare, pusing dan muntah. Kata dokter sih, tekanan darahnya naik. Karena kondisi ini, rencana ditunda sampai selepas magrib, menunggu kondisi tante menjadi lebih baik. 

“Tan, bagaimana mi ki?” tanyaku lewat telepon setelah masuk waktu Isya dan belum ada kabar.
“Baikanma ini, darima dokter, mauka makan dulu baru minum obat,” jawab tante dengan suara lebih bersemangat dibanding sore tadi.
“Insyaa Allah jadi ja ki pergi, nanti kutelepon kalau sudah mau berangkat,” ujarnya lagi.

Pukul Sembilan lewat sepuluh menit, saat adik sepupuku, anak si tante, menelepon. Katanya mereka menunggu di jalan poros Makassar – Gowa. Segera kusambar ransel yang sudah kusiapkan sejak Zuhur. Aku bergegas keluar kompleks menunggu angkot (Kita sebut saja pete-pete lebih keren kayaknya) yang akan mengantarkanku ke tempat om, tante, dan dua adik sepupuku menunggu. Karena sudah agak malam, pete – pete yang lewat menjadi sangat jarang. Bentor pun tidak ada satupun yang melintas. Jalan kaki saja pikirku. Maka mulailah aku berbelok dan melintasi aspal yang lagi sangat – sangat berdebu.

Aku pun bergabung di mobilnya om yang tidak hanya berempat melainkan bertujuh dengan tiga orang keluarga dari pihak om. Om kembali melajukan mobilnya yang akan melintasi tiga Kabupaten, yaitu Gowa, Takalar dan Jeneponto. Oh iya, aku belum bilang kan mau kemana? Lupa heeee… Si om punya ponakan yang akan melangsungkan pernikahan hari kamis besok di Desa Buntubodong Kecamatan Tompobulu, kalau tidak salah masih wilayah Kabupaten Gowa. Cuma untuk menuju kesana, ada dua pilihan jalur yang bisa dilalui. Satunya, dari Gowa berbelok menuju Malakaji dan yang satunya lagi melalui jalan kabupaten yang melintasi Gowa, Takalar dan Jeneponto. Pilihan kedua ini yang dipilih om, karena bisa menghemat waktu sekitar 40 – 60 menit dibanding jalur yang pertama.

Kurasakan mobil berguncang pelan. Aku pun terbangun. Mobil menanjak melalui jalanan yang tidak beraspal sampai akhirnya mobil memasuki jalanan beraspal dan menurun. Dengan kemiringan 450, mobil terus menurun sampai akhirnya aku melihat ke sisi kiri. Dengan bantuan sinar bulan, deg, jantungku berdegup lebih kencang, tanganku berkeringat.

Mobil berjalan dengan jurang di sisi kirinya. Mobil terus menurun kemudian berbelok tajam dan merubah posisi jurang di sebelah kanan jalan. Jika supir telat beberapa detik saja memutar setir pada saat berbelok di tikungan tajam, maka kita akan berakhir terjun bebas ke kaki gunung. Bagaiamana jika rem mobil tiba – tiba blong? Bagaimana jika om tidak bisa mengendalikan setirnya? Bagaiman jika tiba – tiba jalanan longsor? Berbagai bagaimana berlompatan ke kepalaku. Kugelengkan kepalaku keras – keras mengusir serangkaian bagaimana itu. Zikir terus saja kulafalkan mengusir pikiran yang tidak – tidak. Kulirik jam di layar hp menunjukkan 00:08. Berkali kucoba memejamkan mata tapi kantuk pun seolah takut bersamaku meniti jurang. Jalanan menurun dan berbelok tajam akhirnya berakhir saat mobil melintasi jembatan Bendungan Kelara. Akhirnya… tapi itu hanya pikiranku saja.

Jalanan menurun kini berganti tanjakan. Tikungan tajam pun masih setia menemani perjalanan. Jurang di sisi kiri dan sisi kanan pun masih bergantian. Kulirik jam 00:16, saat kami bertemu mobil pick up dari arah atas. Om harus memarkir mobil di sisi kiri jalan dan mungkin hanya terpisah 1 meter dengan jurang. Tidak hanya sampai disitu. Setelah mobil pick up itu berlalu, mobil truk pun menikung tajam dan menuju kearah kami. Lagi – lagi om harus memarkir mobil dan membiarkan mobil truk itu melewati kami. Dan untunglah jurang berada di sisi kanan jalanan.

Sport jantung pun belum berakhir  di sini. Saat mobil menanjak tiba – tiba tercium sesuatu yang terbakar, mobil pun tiba – tiba berhenti. Ya Allah apa lagi ini? Ternyata air karburatornya habis dan beberapa bagian yang aus. Untunglah hanya butuh lima menit untuk kembali menghidupkan mesin mobil. Perjalanan meniti jurang Kelara bersama tanjakan dan tikungan tajam dilanjutkan.

Pukul 00: 30, tanjakan ekstrim berujung pada perkampungan. Lega itu jelas sekali menguasai rongga dada. Alhamdulillah… Jika nyawa itu belum saatnya kembali pada pemilikNYA, seperti apapun maut mengintai, raga tidak akan kehilangan ruhnya. Setelah melewati beberapa dusun dengan jalanan beraspal yang berlubang-lubang, mobil berbelok ke kiri memasuki jalanan tanpa pengerasan sama sekali.
“Kalau tadi sebelum berangkat kita minum susu, pasti sudah jadi milk shake mi di lambung,” ucapku memecah keheningan yang disambut tawa adik sepupuku. Kata – kata yang tertahan di tenggorokan selama meniti jurang Kelara akhirnya bermunculan satu-satu.  

Setelah beberapa saat berharlame shake ria tibalah kami pada perbatasan desa Buntubodong. Sebuah gapura bercat kuning hitam bertuliskan Selamat Datang. Warna Gapura ini berbeda dengan penanda batas dusun yang bercat biru putih yang kami lalui tadi. Pemberian warna biasanya berdasarkan warna jaket almamater (waktu kecil liat KKN masuk kampung sih gitu, jaketnya orange, batas desa jadi orange juga, jaketnya merah batas desa pun jadi merah).

“Alahamdulillah,” ujar Om saat melintasi perbatasan itu.
Oh, sudah dekat mungkin, pikirku. Ini kali kedua aku ke kampung ini. Pertama kalinya tahun 2008 atau 2009 bersama Mama juga tapi melalui jalur yang lain. Lima menit berikutnya, 00:40 mobil berhenti di depan sebuah rumah berhiaskan lamming ciri khas rumah pengantin Sulawesi Selatan.

Beberapa keluarga menyambut kedatangan kami. Namun yang lebih ekstrim adalah makanan yang tersaji untuk kami, ehh aku, yang sedang diet. Tidak apalah kali ini dilanggar saja. Karena memang lagi lapar dan tidak enak pada yang empunya rumah. Yang ini terkesan excuse saja hehehe… Tapi makan tengah malam saat berdiet menjadi kalah ekstrimnya dibanding menantang maut di jurang Kelara disiang hari untukku yang pobhia ketinggian.

  * Sayangnya tidak ada foto

Bontobuddung, 9 Oktober 2014

Senin, 06 Oktober 2014

Ruqyah Mandiri

Mungkin ruqyah bukan lagi hal yang asing ditelinga kita. Ketika ada yang kesurupan sebagian orang akan berkata, "dia harus di ruqyah." Kadang pula ada yang berkata, "panggilkan ustadz," dengan maksud si Ustadz diharapkan akan memberikan terapi ruqyah.

Nah kalau kita merujuk pada defenisi dari Wikipedia, Ruqyah atau Rukyah (Arab: رقية, Inggris: