“Hai Daeng,” sapaku pagi ini pada
pedagang sayur langganan di depan kompleks perumahan. Daeng Ucu’ nama yang
kuberikan pada nomor hp yang saya simpan di kontak hpku. Entahlah siapa nama
sebenarnya. Beragam nama dipanggilkan oleh pelanggannya. Daeng Ucu’, Daeng Usu’,
atau Daeng Aco’. Karena tidak ingin salah nama, saya tidak pernah menyebutkan
namanya. Cukup dengan Daeng.
“Hai, juga, lamanya baru muncul,”
sapanya balik.
Setelah berbasa-basi sedikit, saya
berjongkok memilah-milih sayuran yang digelarnya di depan sebuah ruko. Bukan hanya
saya, tapi pelanggan-pelanggan lain mengerubungi jualannya seperti takut kehabisan.
Sudah cukup lama Daeng sayur ini
berjualan. Saya dan orang rumah mulai sering menyambanginya sekitar 2007. Sejak masih
menggunakan becak sampai akhirnya menggunakan motor. Pelanggannya pun bertambah
banyak. Mulai dari mahasiswa, pedagang makanan jadi, sampai ibu rumah tangga. Tak
jarang banyak pula bapak-bapak bertransaksi dengannya.
Sebagai pembeli, saya menilai jualan
Daeng sangat laku disebabkan beberapa poin. Pertama, harga bisa nego, bahkan
sesekali dia memberikan gratis, kadang-kadang bawang daun, jahe, cabai rawit, jeruk
jika jumlah yang dibutuhkan sedikit. Kedua, Daeng pandai mengambil hati
pelanggannya, dia sering bercanda dan bisa bercerita banyak hal seputar berita koran
langganannya tiap pagi. Ketiga, cekatan. Ketika semua pelanggan mulai minta ini
itu, Daeng akan melayani satu demi satu dengan sigap. Keempat, selalu
menginfokan jika Daeng libur jualan sampai jangka waktu tertentu. Setiap libur jualan, teras ruko menjadi sepi,
sekalipun ada pedagang lain menggantikannya. Karena sudah merasa nyaman dengan
Daeng saya pun menjadi jarang ke pasar sekalipun belanja dalam jumlah banyak,
kecuali membeli ikan laut.
“Daeng, berapa ikan bolu (ikan bandeng)?”
Selain menjual kebutuhan dapur, Daeng
juga menjual ikan bandeng yang dijamin segar. Katanya, dipasok langsung dari
Pangkep.
“Sepuluh ribu satu ekor,” jawabnya.
“Bersihkan satu, tidak usah dipotong.”
“Eh, jangan makan ikan laut!” ujarnya
disela-sela membersihkan sisik ikan.
“Kenapa bisa, daeng?” tanyaku.
“Air Asia toh,” jawabnya. Maksudnya ikan
mungkin telah memakan sebagian korban pesawat naas itu.
“Ahhh, Daeng, ada-ada saja. Itu sama
saja jangan makan sayuran yang ditanam di sekitar pekuburan.”
Sekalipun demikian, itu bukanlah alasan untuk tidak memakan ikan laut. Apa yang dimakan ikan telah tercerna dengan baik.
Hehehe...iyah.
BalasHapusterima kasih sudah singgah ^_^