Gema takbir telah berkumandang selepas Isya semalam
sampai dinginnya pagi menusuk tulang. Kabut pun masih melayang di kaki gunung.
Embun-embun layaknya kristal menggantung
di ujung dedaunan. Langkah-langkah kaki para peraih fitrah menuju lapangan
terdengar berderap. Berbondong-bondong
ke tempat yang sesuai sunnah untuk menunaikan salat Idulfitri, tanah lapang.
Hiruk pikuk di rumah seakan belum ingin berhenti. Kami;
aku, kakak dan adik-adikku dahulu mendahului menggunakan WC sekaligus kamar
mandi yang hanya satu di kolong rumah. Yah rumah kami adalah rumah panggung,
sama dengan rumah-rumah lainnya di kampung ini. Kampung di kaki Gunung
Latimojong. Dan akhirnya kami pun siap menuju lapangan setelah pengumuman
terakhir. Seakan memanggil kami yang selalu menunggu ujung waktu menyegerakan
langkah karena shalat Idulfitri segera dimulai.
Khutbah telah dibacakan. Orang-orang mulai beranjak
seraya menggulung tikar-tikar pengalas sajadah. Beberapa orang berlalu saja
membiarkan koran bekas memutihkan lapangan. Tangan-tangan kanan dijulurkan
untuk saling menjabat. Sering pula dilanjut pelukan. Kadang pula dengan
cipika-cipiki, cium pipi kanan-cium pipi kiri. Tentu saja antara sesama muhrim
atau orang-orang dengan jenis kelamin yang sama sebagai pertanda dekatnya
hubungan karib kerabat.
Tujuan kami berikutnya adalah rumah. Di sini kami
saling bersalaman sesama saudara. Mencium tangan takzim pada yang lebih tua
kemudian diiringi colekan iseng dan tawa renyah. Kami; aku, kakak, dan
adik-adikku, kemudian menyalami tangan-tangan luar biasa sepanjang hidup kami.
Tangan-tangan orang tua kami. Dimulai dari Papa dan diakhiri dengan Mama. Pun
Mama tidak lupa menjabat manis tangan Papa dan menciuminya bersamaan deraian
air mata harunya.
Idul Fitri Tahun 2010 |
Tibalah kami duduk bersila dihadapan Papa yang sedang
duduk di kursinya.
“Anak-anakku, kalian berlima, sekarang telah besar.
Teruslah saling sayang-menyayangi, kasih-mengasihi, peduli-mempedulikan. Karena
letak penghargaan orang pada kita adalah dari cara kita memperlakukan saudara
kita. Jangan pernah berharap orang lain akan menerima kalian jika kalian saling
mengabaikan.”
“Kalian sudah paham?” tanya Papa kemudian.
Kami akan mengangguk pertanda memahami nasihat Papa.
Dan mengakhiri nasihat tahunan itu. Kemudian berlanjut ke meja makan untuk
mengeksekusi sajian yang dihidangkan Mama.
Namun nasihat tahunan itu tidak terdengar lagi sejak
setahun yang lalu, tahun ini dan tahun-tahun akan datang. Karena pemilik
nasihat itu telah pergi menghadap penciptanya. Membawa semua petuah-petuahnya.
MasyaAllah..
BalasHapusnasehatnya menusuk juga kak
saya dgn sodara2 ku masih sering bertengkar2
kayak anak kecil..
tapi ya mmg masih labil semuaki hiks..
sy sulungnya