Kamis, 31 Desember 2015

Nasehat Papa



Gema takbir telah berkumandang selepas Isya semalam sampai dinginnya pagi menusuk tulang. Kabut pun masih melayang di kaki gunung. Embun-embun layaknya kristal  menggantung di ujung dedaunan. Langkah-langkah kaki para peraih fitrah menuju lapangan terdengar berderap.  Berbondong-bondong ke tempat yang sesuai sunnah untuk menunaikan salat Idulfitri, tanah lapang.

Hiruk pikuk di rumah seakan belum ingin berhenti. Kami; aku, kakak dan adik-adikku dahulu mendahului menggunakan WC sekaligus kamar mandi yang hanya satu di kolong rumah. Yah rumah kami adalah rumah panggung, sama dengan rumah-rumah lainnya di kampung ini. Kampung di kaki Gunung Latimojong. Dan akhirnya kami pun siap menuju lapangan setelah pengumuman terakhir. Seakan memanggil kami yang selalu menunggu ujung waktu menyegerakan langkah karena shalat Idulfitri segera dimulai.

Khutbah telah dibacakan. Orang-orang mulai beranjak seraya menggulung tikar-tikar pengalas sajadah. Beberapa orang berlalu saja membiarkan koran bekas memutihkan lapangan. Tangan-tangan kanan dijulurkan untuk saling menjabat. Sering pula dilanjut pelukan. Kadang pula dengan cipika-cipiki, cium pipi kanan-cium pipi kiri. Tentu saja antara sesama muhrim atau orang-orang dengan jenis kelamin yang sama sebagai pertanda dekatnya hubungan karib kerabat.

Tujuan kami berikutnya adalah rumah. Di sini kami saling bersalaman sesama saudara. Mencium tangan takzim pada yang lebih tua kemudian diiringi colekan iseng dan tawa renyah. Kami; aku, kakak, dan adik-adikku, kemudian menyalami tangan-tangan luar biasa sepanjang hidup kami. Tangan-tangan orang tua kami. Dimulai dari Papa dan diakhiri dengan Mama. Pun Mama tidak lupa menjabat manis tangan Papa dan menciuminya bersamaan deraian air mata harunya.

Idul Fitri Tahun 2010
Tibalah kami duduk bersila dihadapan Papa yang sedang duduk di kursinya.
“Anak-anakku, kalian berlima, sekarang telah besar. Teruslah saling sayang-menyayangi, kasih-mengasihi, peduli-mempedulikan. Karena letak penghargaan orang pada kita adalah dari cara kita memperlakukan saudara kita. Jangan pernah berharap orang lain akan menerima kalian jika kalian saling mengabaikan.”
“Kalian sudah paham?” tanya Papa kemudian.
Kami akan mengangguk pertanda memahami nasihat Papa. Dan mengakhiri nasihat tahunan itu. Kemudian berlanjut ke meja makan untuk mengeksekusi sajian yang dihidangkan Mama.

Namun nasihat tahunan itu tidak terdengar lagi sejak setahun yang lalu, tahun ini dan tahun-tahun akan datang. Karena pemilik nasihat itu telah pergi menghadap penciptanya. Membawa semua petuah-petuahnya.

1 komentar:

  1. MasyaAllah..
    nasehatnya menusuk juga kak
    saya dgn sodara2 ku masih sering bertengkar2
    kayak anak kecil..
    tapi ya mmg masih labil semuaki hiks..
    sy sulungnya

    BalasHapus