Merasa berutang
tapi tidak pada siapa, apa, dan berapa. Pokoknya harus jadi satu sebagai
permulaan. Just do it!!!
Sepenggal kalimat di atas sungguh
mewakili rasa saya setelah mengikuti closing
ceremony Makassar International Writers Festival 2014 dan beberapa
rangkaian acara sebelumnya. Saya merasa sangat berutang, berutang pada diri
saya sendiri, jika dari acara besar saya tidak mampu menghasilkan satu tulisan.
Maka mulailah saya menulis tentang MIWF 2014. Event kepenulisan tingkat internasional yang pertama kalinya saya
ikuti. Namun sayang, saya harus kecewa karena acara besar ini.
Sebelum
menguraikan kekecewaan saya, saya akan sedikit bercerita tentang MIWF. MIWF
digagas oleh Ibu Lily Yulianty Farid. MIWF pertama kali diadakan tahun 2011 dan
merupakan program tahunan Rumata’ Artspace. Acara ini digelar dengan suasana
santai dan informal dengan beragam program. Sehingga menjadi ajang diskusi yang
sangat menarik.
Bagi saya pribadi, acara ini baru saya
ketahui tahun ini. Awalnya saya membaca beberapa postingan di twitter dan
facebook. Tapi saya belum tertarik sedikit pun untuk turut serta dalam acara
ini. Cukup sekedar tahu. Karena saya tidak tahu acaranya seperti apa, bagaimana
bisa nimbrung di sana, dan berbagai pertanyaan lainnya yang saya tidak berusaha
mencari jawabannya. Bahkan bergabung di komunitas penulis pun belum bisa
menjadi solusi untuk aktif di kegiatan kepenulisan seperti ini. Sampai akhirnya
Kak Niar, ketua grup Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN) Makassar memberikan penawaran
kepada anggota grup untuk mendaftarkan diri di workshop penulisan cerita anak
di MIWF. Pada workshop ini, Ibu Lily menyiapkan 10 kursi untuk anggota IIDN. IIDN keren!
Setelah tiba waktu yang telah
dijadwalkan, saya sebenarnya agak malas untuk ikut. Yah karena alasan klasik
dan terlalu mengada-ada, alasan para pemalas. Panas dan rumah saya jauh.
Hehehe… tapi sebagai bentuk pertanggungan jawab pada Kak Niar karena sudah
mendaftar, saya berangkatlah dari rumah sekitar pukul 2 siang. Panaskan? Jam tidur pula hehehehe... yah lebaynya sih dengan
sedikit menyeret-nyeret kaki saya pun sampai di Main Hall Benteng Rotterdam 12
menit lewat dari jadwal acara. Tapi syukurlah acara belum dimulai.
Karena pemateri Clara Ng tidak bersedia
hadir, maka workshopnya diganti An
Authentic Story Teller. An Authentic
Story Teller dibawakan oleh Gina S. Noer. Siapa dia? Dia adalah seorang
penulis skenario. Dan skenario yang dibuatnya adalah film-film yang masuk list
kesukaanku; Ayat-ayat Cinta dan Habibie Ainun. Bangga dan luar biasa, itulah
perasaan yang seakan meledakkan morfin kabahagiaan di diri saya. Hari itu, saya
berada diantara orang-orang hebat. Gina S. Noer menjelaskan beberapa point
tentang how to be a story tellar? 1)
Latihan, 2) Tahu apa yang penting untuk diceritakan, 3) Perfect practice makes
perfect, 4) Pilih jalur yang benar, 5) Sadar kemungkinan pengembangan konten.
Hari berikutnya, saya pun kembali hadir
di cara MIWF 2014. Bincang-bincang dengan Prof. Janet Steele tentang Journalism Islam in Indonesia dan Malaysia Best
Western Hotel. Prof. Janet Steele adalah
peneliti jurnalisme yang membandingkan beberapa majalah dan koran terbitan yang
ada di Indonesia dan Malaysia. Dengan bahasa Indonesia yang lumayan lanccar
untuk dia menjelaskan tentang perbedaan besar jurnalisme Indonesia dan
Malaysia. Termasuk perbedaan ideologi para wartawan kita dengan negara tetangga
itu. Salah satunya anti kebohongan yang dianut wartawan-wartawan Malaysia. Sebagian
dari mereka rela berhenti dari pada menyajikan berita yang tidak sesuai dengan
fakta. Nah bagaimana dengan wartawan di negara kita?
Jejak kita lanjutkan ke Benteng
Rotterdam. Berikutnya Book Launch and Discussion: TAKDIR The Biography of Prince
Diponegoro. Buku ini dikarang oleh Peter Carey. Di dalam buku ini dipaparkan
tentang Pangeran Diponegoro dalam segala aspek. Pangeran Diponegoro seorang
yang agamis. Termasuk kelemahan Pangeran Diponegoro terhadap wanita. Mengumpulkan
informasi tentang Pangeran Diponegoro dan menyusunnya dalam sebuah buku
berjudul Takdir mempertemukan Peter Carey dengan takdirnya menikahi salah
seorang wanita Jawa. Di benak saya muncul pertanyaan mengapa yang banyak
tertarik pada sejarah kita adalah orang-orang asing, mengapa kita sebagai warga
negara Indonesia seakan lebih suka melupakan sejarah kita sendiri? Produk-produk
luar negeri lebih menarik untuk kita simak. Ataukah pertanyaan itu hanya
tertuju kepada saya, seorang penggila K-Drama?
Tanggal 7 Juni 2014. Hari terakhir
pelaksanaan MIWF 2014. Jadwal pelaksanaan MIWF ditangan saya menjadi sangat
lecek. Mata saya bolak-balik
membandingkan Book Launch, Indonesian Literary Communities dan Workshop tentang Travel. Haaaah susahnya memutuskan harus mengikuti yang mana, waktu
pelaksanannya bersamaan pukul 16.00. Dan akhirnya pilihan saya jatuh ke …. Eng…ing…eng… apa itu? Hahaha… Pemenangnya
adalah Indonesian Literary Communities.
Di acara ini menghadirkan 6 penulis undangan dari berbagai kota. Amaya Kim,
Pringadi AS, Saddam HP, Deddy Arsya, Louie Buana dan Ran Jiecess. Mereka
bercerita tentang kebutuhan penulis akan komunitas. Namun Deddy Arsya berbeda
dari yang lainnya, penulis dari Padang. Dia menjamin lima tahun terakhir ini
tidak ada komunitas yang bertahan di Padang, kecuali di kampus–kampus. Untuk berdiskusi
tentang karya sastra cukup ke kedai-kedai (kita menyebutnya Café). Dia sangat
mengkhawatirkan penulis-penulis dan karya sastra di Padang akan musnah jika
seperti ini.
Hanya ini acara MIWF yang sempat
saya ikuti.
***
“Waow
keren, saya ingin ikut ini, ini, ini, dan ini,” kataku pada seorang teman
sambil memberi tanda contreng pada beberapa workshop, book launch, dan beberapa
acara lainnya di selebaran jadwal MIWF.
Tapi tiba-tiba mataku terbelalak melihat
waktu pelaksanaannya. Acara yang sudah kutandai untuk diikuti ternyata
bersamaan antara satu dengan yang lain. Ahhh saya benar-benar kecewa pada MIWF,
terlalu banyak acara yang ingin saya ikuti. Tapi waktu yang ‘bertabrakan”
memaksa saya untuk memilih dan mengabaikan acara yang lain.
Acara ini terlalu
keren. Terlalu menarik untuk dilewatkan. Sukses untuk MIWF berikutnya. Semoga umur
panjang masih menjadi milik kita sehingga di tahun mendatang kita bisa kembali
duduk bersama dalam perbincangan yang luar biasa. Satu pi harapanku gang, tahun depan saya ingin menjadi salah satu
volunteer untuk MIWF. (Muj)